Saturday, April 15, 2006

Dari Togel sampai Rolet

Kompas, 27 Mei 2004
INFO, jajaran Polda X menjerit, toke 303 tidak mau setor karena instruksi Kapolri tutup judi". Demikian isi SMS yang sampai ke telepon seluler penulis, Selasa lalu. Pengirimnya, salah seorang ’pemain’ yang mengelola 303 (istilah untuk judi, yang berasal dari Pasal 303 KUHP) di wilayah Polda X, yang memang dikenal banyak lokasi perjudian.
Sejak telegram rahasia (TR) Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar yang kabarnya memerintahkan jajaran Polri untuk memberantas perjudian turun beberapa waktu lalu, polisi memang tampaknya tidak segan-segan menyikat perjudian.
"Hampir setiap hari ada saja yang masuk!", ujar Hengky (bukan nama sebenarnya), salah seorang ’pemain’ togel (judi toto gelap) di wilayah Bekasi, saat ditemui di Polda Metro Jaya untuk mengurus anak buahnya yang ditangkap. "Sekarang susah, polisi enggak berani terang-terangan 86 (damai). Ya.. paling-paling main di jaksa!" ujarnya lagi.
Suka atau tidak, diakui atau tidak, judi memang masih marak dan menjamur di negeri ini. Di Jakarta saja, sedikitnya tercatat 32 tempat perjudian yang memiliki tempat besar dan bahkan eksklusif.
Belum lagi yang ada di gang sempit dengan hanya menjual kupon judi togel dengan menebak angka yang tepat dari bandar lokal-ada juga bandar Singapura-karena angka yang tepat keluar sebagai pemenang, konon berkiblat dari negeri XXXXXX itu.
Banyak jenis permainan judi yang marak muncul dan berkembang. Sebut saja, Ta Shiao, Bola Setan, Koprok, Pai Kyu, Koprok Liong Fu, Bola Bintang, Rolet, dan sebagainya. Uang taruhan pun beragam. Mulai dari ribuan hingga ratusan juta rupiah. Bayangkan saja sendiri, berapa besarnya perputaran uang dari bisnis perjudian tersebut.
Itu baru yang konvensional alias terlihat, pemain dan bandar ada di satu tempat secara bersamaan. Belum lagi yang non-konvensional, alias judi yang berlangsung di dunia maya, di mana pemain dan bandar terikat dalam jaringan tertentu lewat komunikasi telepon atau internet tanpa harus saling bertemu. Transaksi hingga miliaran rupiah tetap berlangsung, tanpa khawatir dijaring petugas.
BISNIS perjudian, jelas merupakan kegiatan ilegal. Untuk itu sudah menjadi rahasia umum kalau banyak oknum aparat yang sengaja memungut ’uang keamanan’ dari para pengelola judi. Besar dan waktu pemberian setoran (tips) pun bervariasi.
HS, salah seorang karyawan lokasi judi di Jakarta Utara yang bertugas memberikan tips kepada para oknum aparat yang datang menyebutkan, setiap harinya mereka harus menyiapkan uang Rp 10 juta untuk tips harian yang besarnya antara Rp. 10.000 sampai Rp. 100.000 per orang. "Biasanya mereka datang kalau tidak siang ya malam !" katanya
Menurut HS, jadwal ambil tips memang sudah ditentukan. Yakni pada siang hari antara pukul 14.00-16.00 atau malam antara pukul 19.00-21.00. Pemberian tips ini bukannya tidak ’resmi’. Pasalnya, setiap yang datang harus mengisi daftar hadir dengan mencantumkan nama dan lembaga.
Tidak jelas apakah identitas itu benar atau palsu. Tidak ada yang tahu kecuali yang bersangkutan. Yang minta tips pun beragam. Mulai dari oknum aparat keamanan, aparat pemerintah daerah, wartawan, hingga LSM. "Makanya, saya yakin kalau tempat ini akan aman, karena kalau list itu saya buka, pasti banyak yang teriak," ujar HS.
Selain tips harian, dikenal pula sebutan buntut 0, 1, dan 5. Maksudnya adalah, 0 untuk pemberian setoran setiap tanggal 10, 20, dan 30. Sedangkan buntut 5 adalah kode untuk setoran yang diberikan setiap tanggal 5, 15, dan 25. Adapun buntut 1, ya untuk setoran sebulan sekali, dengan tanggal yang sudah 'disepakati' bersama. Besarnya setoran bulanan pun bervariasi, antara Rp 1 juta - Rp 100 juta per orang, tergantung dari jabatan yang dipegang. Itu baru anggaran rutin dari satu instansi. Belum lagi anggaran tak terduga lainnya seperti untuk hajatan maupun bantuan lain-lain.
TANPA adanya komitmen bersama, bisa dikatakan upaya memberantas perjudian adalah sebuah pekerjaan sia-sia. Sekarang tutup, besoknya buka lagi. Bisa-bisa, opini yang timbul malah sebaliknya, yaitu menandakan bahwa besarnya tips perlu ditambah.
Tengok saja kejadian tahun lalu, ketika oknum anggota Brimob yang mengamuk melepaskan tembakan hanya karena tips yang diberikan dari pengelola judi terlalu kecil jumlahnya. Komitmen bersama tentunya bukan hanya dari seluruh lapisan masyarakat, tapi juga dari aparat keamanan dan pemerintah itu sendiri.
Salah seorang kepala kepolisian sektor sempat mengeluh saat TR Kapolri baru turun. Pasalnya, ia menjadi bingung mau menambah dana dari mana lagi untuk biaya operasional anggota hingga biaya melayani pejabat ini itu. Sungguh, sebuah masalah yang tak akan pernah selesai…
F Sidikah R Magister Ilmu Kepolisian UI

Pola Pengamanan Pemilu; Efektifkah dengan Patroli ?

Kompas, 23 Maret 2004
MUNCULNYA indikasi mundurnya warga masyarakat sebagai petugas keamanan di tempat pemungutan suara-karena honor kecil- hendaknya tidak dianggap enteng. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Irjen Makbul Padmanagara mengatakan, hal itu masih bisa diantisipasi dan dapat diatasi oleh kepala polsek (Kompas, 10/11).
Adanya laporan intelijen dari beberapa polsek yang mengindikasikan keinginan mundurnya warga masyarakat sebagai petugas keamanan di TPS saat hari-H pemungutan dan penghitungan suara mulai menggejala.
Ardy (32), warga Mampang, Jakarta Selatan, ditunjuk sebagai petugas keamanan di salah satu TPS. Walaupun tidak riil mengatakan ingin mundur, sejak awal ia tidak ingin terlibat lagi pada pemungutan suara saat pemilihan presiden dan wapres.
Itu artinya, mau tidak mau pemerintah harus menunjuk lagi anggota baru yang diambil dari unsur masyarakat untuk menggantikan anggota yang mengundurkan diri.
Kecilnya honor yang diterima para petugas yang diambil dari unsur masyarakat itu bukan satu-satunya alasan. Sebab lain, keengganan menghadapi situasi tidak terduga.
Roli (25), warga Slipi yang juga menjadi salah satu petugas keamanan TPS di wilayahnya, mengeluh. Di wilayahnya, mereka harus melengkapi diri dengan perlengkapan yang dibutuhkan pada saat hari-H, di antaranya meja, kursi, bahkan tenda. Faktor lain, besarnya honor konon cuma Rp 7.500 per hari.
METODE pengamanan yang dilakukan polisi pada saat hari-H pemungutan maupun pada saat penghitungan suara menggunakan sistem patroli, baik patroli beat maupun patroli blok. Patroli beat adalah patroli di sekitar ruas jalan yang merupakan wilayah TPS. Patroli blok mengitari wilayah perumahan, perkantoran, dan daerah yang ada TPS-nya. Ada tiga kategori berdasarkan jarak tempuh antar-TPS, yaitu kategori pertama, aman. Kedua, kategori Rawan 1. Ketiga, kategori Rawan 2.
Adapun jumlah TPS yang menjadi wilayah pengawasan di Polda Metro Jaya tercatat 42.356 TPS, di antaranya sebanyak 39.626 TPS masuk kategori aman, 2.486 TPS Rawan 1, dan sisanya, 244 TPS, Rawan 2.
Salah satu kondisi rawan yang perlu diantisipasi dari dijalankannya sistem patroli dengan tanpa mengonsentrasikan anggota polisi di TPS adalah masalah koordinasi. Perlu tersedia alat komunikasi antara petugas pengamanan di TPS dan anggota polisi yang sedang berpatroli.
Hingga saat ini alat komunikasi yang dimiliki polisi pada 101 polsek dari 9 polres yang terdapat di wilayah Polda Metro Jaya baru sekitar 1.650 unit radio trunking. Padahal, paling tidak diperlukan sekitar 5.000 unit.
Dengan demikian, masih sekitar 3.350 unit yang dibutuhkan. Itu pun hanya untuk melengkapi petugas polisinya saja.
Menurut Ardy, dalam pengarahan yang diberikan kepada anggota linmas, andaikata terjadi gangguan kamtibmas, mereka hanya diinstruksikan untuk menghubungi call center 112 milik polisi. Selebihnya tidak ada.
Tentunya hal ini akan memunculkan sikap pesimistis dari masyarakat terhadap kesiapan aparat keamanan bertindak cepat jika terjadi gangguan keamanan pada saat hari pemungutan dan penghitungan suara. Misalnya saja seperti yang diungkapkan Dian Triastuty, anggota Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI).
Dia meragukan akan adanya koordinasi yang cepat jika terjadi gangguan kamtibmas, sementara polisinya baru saja pergi dari satu TPS ke TPS lain. Untuk menghubungi 112 belum tentu akan cepat terespons sampai ke bawah, mengingat berbelitnya birokrasi.
Untuk itu, sebelum terlambat, perlu ada persiapan lain yang perlu dilakukan. Misalnya, menyiasati penggunaan alat komunikasi yang tepat antarpetugas keamanan dari polisi ke masyarakat dan sebaliknya. Atau paling tidak, menurut guru besar PTIK Prof Parsudi Suparlan, perlu dicoba upaya mengembangkan jaringan dengan menjadikan unsur-unsur masyarakat tertentu sebagai informan polisi.
Pengalaman "putusnya koordinasi" pada alat komunikasi antar-aparat keamanan saat peristiwa 13-14 Mei 1998 sebaiknya tidak terjadi lagi. Jika itu terjadi, bisa berakibat pada menurunnya kepercayaan publik terhadap kemampuan aparat keamanan mengantisipasi gangguan kamtibmas yang mungkin terjadi.
F Sidikah R Peneliti pada Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

Mencegah Konflik dengan Metode "Local Boy for The Local Job"

Kompas, 26 Mei 2003

ADA cerita menarik dari seorang kawan perwira polisi yang berdinas di bagian pendaftaran para calon polisi. Ceritanya, ia menerima pendaftaran dari seorang peserta yang ternyata adalah buronan buruannya sewaktu ia berdinas di daerah lain. Karuan saja si buronan yang ’kabur’ ke daerah baru itu gagal mendaftar jadi calon polisi.
"Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau ia diterima dan lulus tes jadi polisi, apa enggak kacau negara ini," kata teman saya itu lega.
Mendengar hal itu, tampaknya tak seorang pun yang akan keberatan mendengar pernyataannya. Apa jadinya polisi Republik ini jika para gali di suatu daerah kabur ke daerah lain dan dengan persyaratan cukup, malah mendaftar jadi polisi. Bisa-bisa kantor polisi malah jadi sarang penjahat. Itu dulu.
Saat ini Anda tidak perlu cemas. Cerita itu pun cukup jadi pelajaran berharga. Sebaliknya, para gali jangan coba-coba meniru.
Kini Polri tengah menggodok konsep baru perekrutan calon personelnya, yaitu dengan mengembangkan metode Local Boy for The Local Job, mengutamakan putera daerah setempat untuk diterima menjadi calon anggota Polri.
SALAH satu perdebatan menarik dalam rangka pengembangan konsep ini ialah definisi mengenai putra daerah itu sendiri. Berbagai arti dari berbagai latar belakang ilmu memiliki definisi tersendiri mengenai putra daerah. Satu pihak berpendapat, yang dimaksud putra daerah ialah putra asli suatu daerah yang tentunya kental dengan nuansa SARA. Sementara pihak lain berpendapat, siapa pun yang lahir dan besar di suatu daerah merupakan putra daerah setempat.
Berbagai perdebatan itu kemudian memunculkan pernyataan lain yang dibutuhkan Polri bukan sekadar putra daerah. Mengambil istilah sosiolog UI Prof Budhisantoso, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah putra bangsa, yaitu seorang yang memiliki wawasan kebangsaan, terlepas dari unsur SARA yang ada. Tentu hal itu lebih dibutuhkan Polri untuk menangani berbagai konflik intern yang tengah menyentuh rasa kebangsaan kita.
Namun demikian, berbagai konflik intern yang kerap erat kaitannya dengan muatan SARA itu pula yang rupanya menjadi salah satu dasar dikembangkannya metode Local Boy for The Local Job tersebut. Metode itu merupakan pengembangan konsep community policing atau pemolisian berbasis komunitas yang mengedepankan kemitraan antara polisi dan masyarakat.
Itulah sebabnya mengapa putra daerah setempat kini menjadi prioritas Polri untuk memenuhi target pencapaian jumlah 26 ribu polisi tahun ini. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi tidak cukup banyak untuk memenuhi target standar dunia dalam hal rasio jumlah polisi dan masyarakat.
Saat ini, rasio antara jumlah polisi dan masyarakat Indonesia baru sekitar 1 : 1500 orang. Masih jauh dari rasio jumlah polisi di beberapa negara Asia seperti India (1 : 700 orang), Hongkong (1 : 250 orang), dan Jepang (1 : 400 orang).
Terlepas dari berbagai alasan, ada satu hal yang menarik dengan diutamakannya putra daerah sebagai calon anggota Polri, yaitu pemikiran mencegah terjadinya konflik bermuatan SARA.
Ada asumsi, jika polisinya orang daerah setempat maka ia lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Implikasinya, ia akan lebih mudah menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di daerah tersebut karena adanya kedekatan emosional dengan masyarakat sekitar.
Pertanyaannya, apakah benar demikian? Bagaimana jika si polisi terjebak dengan ikatan primordialnya? Berbagai pertanyaan yang meragukan kebenaran asumsi tersebut pun bermunculan.
Kekhawatiran akan munculnya keberpihakan polisi terhadap pihak tertentu dalam penanganan konflik karena adanya kedekatan emosional, menjadi hal yang perlu dipikirkan pimpinan Polri.
Pasalnya, masyarakat kita kental dengan ikatan emosional dalam berbagai hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap upaya penegakan hukum. Banyak kasus yang mengendap karena adanya intervensi dari oknum pejabat hanya karena yang bermasalah adalah adik, saudara, tetangga, keponakan, atau teman sekolah. Kalau itu terjadi, bisa-bisa akibat yang ditimbulkan malah sebaliknya.
Apalagi konsep Local Boy for The Local Job itu kemudian diimplikasikan dengan menempatkan seorang polisi untuk berdinas di wilayah yang merupakan tempat tinggalnya semula. Apakah polisi terutama yang remaja dan baru berdinas satu dua tahun benar-benar mampu menangani konflik yang melibatkan orang-orang yang justru sudah lama dikenal olehnya dengan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi ia bertindak?
Untuk itu perlu ada pertimbangan dalam beberapa hal yang terkait dengan konsep Local Boy for The Local Job. Pertama, wilayah penempatan dan lamanya bertugas. Apakah rotasi tugas untuk menambah pengalaman di lapangan hanya terbatas pada daerah tertentu atau memungkinkan pindah ke lain daerah.
Kedua, fungsi penugasan, apakah konsep tersebut akan berlaku di seluruh fungsi dan satuan seperti reserse, intel, lalu lintas, dan sebagainya, karena masing-masing fungsi berbeda keperluannya dalam hal pemenuhan tugas.
Ketiga, apakah konsep tersebut berlaku untuk semua tingkatan tamtama, bintara, dan perwira atau ada kebijakan lain. Masing-masing tingkatan tersebut tentu berbeda pula dalam hal peran dan fungsinya bagi pemenuhan tugas-tugas kepolisian.
Untuk menjawab berbagai masalah diatas, salah satu solusinya adalah dengan membuat sistem atau standard operational procedure (SOP) yang jelas bagi para petugas polisi di lapangan. SOP yang merupakan cara bertindak di lapangan itu bukan sekadar juklak atau juknis.
Pilihan pemikiran lain, membuat semacam komisi pengawas kepolisian yang banyak terdapat di berbagai negara untuk mengawasi kepolisiannya, terutama penyelesaian dan penegakan hukum.
Rasanya berbagai alternatif solusi tersebut perlu dipertimbangkan, terutama dalam menyusun program yang mengedepankan kemitraan polisi dan masyarakat. Ini membutuhkan pemikiran untuk mempertimbangkan berbagai efek positif dan negatifnya. Segala hal yang positif didahulukan. Sebaliknya, untuk dampak negatif segera diambil langkah antisipasinya.
Terutama didasarkan pada perbedaan karakteristik masyarakat antarnegara, maka konsep pemolisian boleh saja mengadopsi konsep pemolisian negara lain namun realisasinya belum tentu sama. Sebab jika tidak, konsep community policing dengan Local Boy for The Localnya Job-nya yang sangat ideal itu, hanya akan berfungsi mencegah penjahat masuk polisi seperti kasus di atas.
F Sidikah R Mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia
Search :
















Bentrokan Pendukung Ba’asyir vs Polisi; Perilaku Kolektif Massa dan Frustrasi Polisi

Sinar Harapan, 31 Oktober 2002

Oleh F. Sidikah R
Nama Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kini menjadi fenomena tersendiri. Terutama sejak ia disebut-sebut sebagai otak pengeboman beberapa tempat yang terjadi tiga tahun belakangan ini, termasuk dikatakannya sebagai otak pengeboman Sari Club (SC) di Bali 12 Oktober lalu. Tak ayal, cap teroris pun kini dialamatkan padanya. Apalagi sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Jamaah Islamiah (JI) sebagai organisasi teroris internasional, dimana Ba’asyir juga disebut-sebut tergabung di dalamnya. Tentu saja, terlepas dari benar atau tidaknya berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada pemimpin pesantren itu, harus dibuktikan lebih dulu di pengadilan nanti. Namun demikian, ada satu hal yang dapat ditarik kesimpulan, mengapa polisi bertindak keras saat menangkap ustadz yang saat itu sedang terbaring sakit di tempat tidur. Bisa dikatakan, secara tidak disadari berbagai labelling yang dialamatkan pada Ba’asyir, membuat polisi seakan menjadi geregetan dan akhirnya ”frustrasi”.Geregetan karena penasaran dan frustrasi karena adanya berbagai tekanan. Salah satunya tentu adanya berbagai tuntutan yang mendesak agar Polri cepat dapat mengungkap kasus tragedi Bali yang menewaskan ratusan orang tersebut. Berbagai tuntutan itu merupakan faktor penekan yang menurut Carter (1985) menjadi pemicu timbulnya kekerasan atau brutalitas polisi dengan menggunakan kekuatannya secara berlebihan. Dalam hal ini, kemudian termanifestasi dalam tindakan keras saat menjemput Abu Bakar Ba’asyir yang berakibat bentrokan antarpendukung Ba’asyir dengan aparat keamanan. Hasilnya, beberapa korban luka-luka dari kedua belah pihak ditambah rusaknya fasililitas umum yang ada, yaitu rumah sakit, tempat Ba’asyir dirawat. Hal itu menimbul penilaian tersendiri dari kalangan masyarakat awam, apakah untuk membawa seseorang yang sudah tua dan sakit itu, perlu tindakan yang demikian kasar?” Secara awam pula kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan kekerasan dalam peristiwa penangkapan Ba’asyir tersebut adalah berlebihan. Berlebihan, karena seharusnya penangkapan Ba’asyir bisa berjalan secara damai tanpa kekerasan. Apalagi kejadian itu berlangsung di rumah sakit, tempat dimana pada saat perang pun merupakan wilayah yang perlu dilindungi. Wajar saja jika kemudian tim pembela Ba’asyir mempraperadilkan Polri. Perilaku Kolektif Di sisi lain, bentrokan yang terjadi antara aparat keamanan dengan pendukung Abu Bakar Ba’asyir saat penangkapan berlangsung, dapat juga dikatakan sebagai wujud dari adanya perilaku kolektif (collective behaviour) dari massa pendukung. Perilaku kolektif biasanya dipicu oleh suatu rangsangan yang sama, baik orang, benda atau ide. Dalam hal ini, Ba’asyir telah dijadikan simbol perjuangan oleh kalangan tertentu.Inilah yang dilupakan oleh aparat keamanan, bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan Ba’asyir seorang. Melainkan Ba’asyir menjadi identik dengan perjuangan suatu kelompok. Sehingga wajar saja jika kemudian timbul bentrokan antara aparat keamanan dengan massa pendukung yang memiliki tujuan dan kepentingan berbeda.Pihak Polri sendiri lewat Kadiv Humasnya, Brigjen Pol Basyir A. Barmawi mengatakan, bahwa penangkapan Ba’asyir sudah mengikuti prosedur tetap yang telah ditentukan. Hanya saja, ada oknum yang kemudian mengerahkan massa untuk menghalangi penangkapan Ba’asyir oleh aparat keamanan. Memang, secara teori, menurut Smelser (1968), salah satu faktor terbentuknya perilaku kolektif adalah karena adanya mobilisasi massa, alias diciptakan. Namun dalam kasus ini, kita tidak bisa melepaskan diri dari telah terbentuknya lebih dulu suatu kepercayaan umum (growth and spread of a generalized belief) yang juga menjadi faktor lain dari timbulnya perilaku kolektif, yaitu dimana kemudian Ba’asyir menjadi simbol perjuangan. Apalagi sebelumnya ia memang seorang pemimpin di pesantrennya (Majelis Mujahidin Indonesia).Terbentuknya atau terciptanya simbol yang dapat menjadi faktor timbulnya perilaku kolektif yang ada kalanya terwujud dalam bentuk kekerasan bukan kali ini saja terjadi. Sebut saja, berbagai kerusuhan yang ada, juga berawal dari munculnya perilaku kolektif yang berkembang menjadi kekerasan. Perilaku yang timbul karena adanya generalized belief dari kelompok tertentu yang menyebar dan meluas itu diyakini sebagai suatu kebenaran oleh kelompok massa tersebut. Sehingga, menjadi sama saja ketika polisi bertindak represif karena fakta yang timbul kemudian adalah terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertentangan tersebut. Dalam hal ini tentunya aparat keamanan dan pendukung Ba’asyir.Antisipasi dan Tindakan PolisiDi tengah merebaknya berbagai isu yang melibatkan massa akhir-akhir ini, tentunya hal tersebut menjadi salah satu fenomena yang mulai menggejala saat ini. Tentunya dengan demikian, Polri sebagai aparat keamanan penegak hukum seharusnya mulai menemukan pola tersendiri dan menerapkan resep yang berbeda dalam hal penegakan hukum di tengah situasi demikian. Bukan malah sebaliknya, justru aparat keamanan yang ikut berbuat anarkis. Tugas Polri adalah menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban serta melindungi dan mengayomi masyarakat. Ketiga tugas tersebut bukan merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Artinya, atas nama penegakan hukum bukan berarti tugas melindungi dan mengayomi masyarakat menjadi terabaikan.Dalam kasus tersebut, bisa dikatakan, ”kesalahan” polisi bukan terletak pada hendak diperiksanya Abu Bakar Ba’asyir, melainkan pada cara dan proses penangkapannya. Belum lagi hal tersebut terjadi di rumah sakit yang menjadi rusak akibat terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan massa pendukung. Apalagi kasus yang menimpa Ba’asyir bukan kasus yang berdiri sendiri. Artinya, apa yang dituduhkan kepadanya merupakan kasus yang terkait dengan kepentingan dunia internasional, yaitu munculnya gerakan melawan terorisme. Namun demikian, hendaknya Polri tidak terjebak pada situasi tersebut sehingga berdampak pada diambilnya tindakan yang justru malah memojokkan Polri. Tugas pokok Polri sebagai penegak hukum adalah hal utama yang tidak bisa ditawar lagi. Namun demikian, jika Polri tidak mulai mempersiapkan diri, jangan heran jika ke depan semakin banyak kasus yang mempraperadilkan Polri dengan alasan kesalahan prosedur, khususnya dalam hal penangkapan tersangka. Padahal, dengan banyaknya praperadilan justru menandakan semakin tidak dipercayainya upaya penegakan hukum oleh Polri. Tentu saja, hal itu merupakan preseden buruk bagi institusi yang hendak menjadikan dirinya mandiri dan independen.Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia. .



Copyright © Sinar Harapan 2002

Ketika Korban Kejahatan Mulai Melawan

Kompas, 28 Oktober 2003
SEBUT saja namanya Sumartini. Perempuan asal Jawa Tengah yang berprofesi sebagai pedagang di sebuah warung di sekitar Terminal Pulo Gadung itu berperan bak detektif swasta. Selama satu minggu ia menyamar menjadi pemulung, guna menangkap wanita (maaf) pekerja seks komersial (PSK) yang ia yakini mencuri uangnya pada suatu malam.
Hasilnya, sungguh mengejutkan. Perjuangannya tidak sia-sia. Sang pelaku ditemukan dan dengan keyakinan penuh Sumartini minta uangnya dikembalikan. Akhir cerita, terjadi keributan antara pelaku dan korban, yang memancing petugas datang. Pelaku pun digelandang ke kantor polisi.
Di Bekasi, Zulkifli menemukan sendiri anaknya, Yuli Wulandari (4), yang dibawa lari pembantunya yang baru bekerja sepekan di rumahnya. Meski sudah lapor polisi, Zulkifli berusaha mengejar sendiri ke kampung halaman Fitriana, pembantunya, di Wonosobo, Jawa Tengah. Padahal, polisi sendiri belum berangkat ke tujuan karena belum jelas alamatnya di Wonosobo sebelah mana.
Apa pun alasan polisi, faktanya keluarga korban sendiri akhirnya menemukan anaknya-sekaligus pelakunya-tanpa bantuan polisi. Biayanya pun murah. Hanya untuk biaya transpor sekitar Rp 150.000.
Zulkifli sendiri tidak memusingkan apakah kasus tersebut akan berlanjut secara hukum atau tidak. "Buat saya, yang penting Wulan selamat," ujarnya.
Begitulah bagi korban atau keluarganya. Mendapatkan kembali haknya yang diambil orang lain adalah tujuan utama. Intinya, orientasi terletak pada hasil, bukan sekadar proses. Orang bilang, sikat dahulu urusan belakangan.
Sedangkan bagi polisi, proses justru memegang peranan penting. Pasalnya, sebagai aparat penegak hukum, segala tindakannya harus berpegang pada aturan hukum yang berlaku. Salah- salah malah ’menghantam’ badan sendiri dan buntutnya adalah praperadilan. Minimal, cibiran dari masyarakat bahwa polisi tidak profesional dalam bekerja.
Inilah bedanya. Masyarakat maunya cepat. Sedangkan aparat penegak hukum memerlukan banyak prosedur dari penyelidikan, penyidikan, hingga pengajuan berkas acara pemeriksaan ke kejaksaan.
Bukan hal baru
Sebenarnya, fenomena korban kejahatan mencari sendiri pelaku dan kemudian meminta pertanggung- jawabannya dalam berbagai bentuk bukanlah hal baru. Banyaknya kasus pembakaran tersangka pelaku kejahatan oleh massa merupakan salah satu klimaks manifestasi dari fenomena tersebut.
Hanya saja, belakangan ini fenomena itu kembali mencuat ketika pelaku diproses polisi setelah ’ditangkap’ oleh korban. Media massa pun tidak ketinggalan mengeksposnya sebagai gejala baru.
Ada dua kesimpulan positif dan negatif yang dapat ditarik dari fenomena itu. Nilai positifnya, pertama, hal itu merupakan tanda dari bangkitnya kepedulian masyarakat untuk melawan kejahatan.
Kedua, meningkatnya kesadaran masyarakat akan hukum dan munculnya pemahaman bahwa melawan kejahatan bukanlah tanggung jawab aparat penegak hukum semata, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat yang ada. Dalam hal ini, tentunya kerja polisi menjadi sangat terbantu dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam mengungkap kejahatan.
Sedangkan sisi negatifnya, pertama, ini merupakan tanda masih adanya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum. Dengan kata lain, masyarakat belum yakin penuh bahwa melapor ke polisi, akan menyelesaikan masalah. Suka tidak suka, pemeo "lapor hilang kambing malah hilang kerbau" masih tertanam di sanubari masyarakat.
Kedua, jika aparat tidak tanggap terhadap meningkatnya fenomena tersebut, bukan tidak mungkin akan bermunculan ’detektif swasta’ yang ’mengambil alih’ peran aparat dalam ’menyelesaikan kasus’. Padahal, masalah detektif swasta belum tercantum dalam kamus aturan hukum di negara kita.
Jika itu dibiarkan, bukan tidak mungkin yang akan berkembang adalah semakin banyak pelanggaran hukum berdalih ’penegakan hukum’. Akhirnya, kerja aparat justru akan semakin bertambah.
Dampaknya, aparat penegak hukum tidak lagi hanya harus memantau pelaku kejahatan, tetapi juga memonitor korban agar tidak bertindak gegabah dan berlebihan. Bisa-bisa, detektif swasta itu bukan membantu mengungkap kasus, tetapi malah mengacak-acak proses penyelidikan. Untuk itu, kuncinya adalah kerja sama yang baik antara petugas dengan korban kejahatan.
Peluang masyarakat
Memang, seperti dikatakan oleh Ronny Nitibaskara (2001:232), keterlibatan pelaksanaan penegakan hukum oleh masyarakat sangat dimungkinkan dalam bentuk berbagai wadah lembaga extra judicial.
Penjelasan umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAP) pun jelas menyebutkan, "…hak dan kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara,…"
Bisa dikatakan, sejauh apa yang dilakukan masyarakat adalah membantu tugas polisi dan tidak melakukan tindakan yang justru melanggar hukum, hal itu sah-sah saja dilakukan. Apalagi di negara-negara lain saat ini juga berkembang dua model penyelesaian masalah dalam proses penegakan hukum yang tampaknya perlu dipikirkan untuk dikembangkan Polri.
Model pertama, terhadap masalah ketertiban umum (public disorder), masyarakat boleh ikut serta dalam penanganannya. Akan tetapi, dalam masalah penegakan hukum (law enforcement ), hanya polisi saja yang berwenang menanganinya.
Model kedua, law enforcement bisa dilakukan oleh masyarakat melalui pengembangan social enforcement.
Kedua model tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita sendiri saat ini masih menganut pada model pertama. Model kedua sempat menjadi perdebatan dalam rangka otonomi daerah dalam kaitannya dengan kewenangan daerah dalam menerapkan peraturan daerah dan hukum adat yang tentunya tidak bisa diabaikan pula oleh kepolisian di setiap daerah yang berbeda karakteristiknya. Hal ini kemudian berkembang dalam konsep communinty policing yang coba diterapkan oleh Polri saat ini.
Meskipun demikian, dari kedua model tersebut ada semangat yang coba dikedepankan, bahwa polisi tidak hanya berorientasi pada penegakan hukum dan memelihara kedisiplinan semata, tetapi juga pada bagaimana menyelesaikan masalah.
Artinya, bagaimana masyarakat (terutama korban) dapat berperan sebagai bagian dari upaya penyelesaian kasus dan tidak hanya ditempatkan sebagai pihak yang dibiarkan menunggu hasil tanpa kabar. Selama ini, pada umumnya korban memang tidak banyak dilibatkan dalam upaya pengungkapan kasus.
Pada umumnya, mereka hanya diposisikan sebagai pihak yang pasif dan duduk manis menunggu hasil kerja polisi. Akibatnya, banyak muncul keraguan, apakah polisi betul-betul berusaha menyelesaikan kasusnya atau tidak. Apalagi, memang sudah menjadi rahasia umum adanya pemilihan prioritas kasus yang akan diselesaikan lebih dulu, yang bisa tergantung pada berbagai aspek.
Harus diakui, masyarakat kini semakin pintar. Mereka mulai ’tidak bisa diam’ jika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Bisa dikatakan, genderang perang melawan kejahatan mulai ditabuh. Namun, tentunya aparat penegak hukum sebagai pihak yang memegang kendali, harus menjaga agar irama tetap harmonis.
Caranya, aparat jangan hanya berorientasi pada penyelesaian kasus yang besar yang membuat kinerja polisi seolah menonjol. Pasalnya, kejahatan-kejahatan konvensional lah yang sebenarnya justru sering dialami masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, ke mana sebaiknya polisi harus berpihak?
F Sidikah R Magister Ilmu Kepolisian UI

* Diterbitkan oleh Penerbit Kompas menjadi bagian dalam kumpulan tulisan pada buku ‘‘Politik Kota dan Hak Warga Kota’ , Maret 2006

Tahun 2005, Calon Bintara Polri Minimal D1 Studi Kepolisian

Kompas, 14 Januari 2004
SEBUAH proposal menarik tiba di meja saya. Judulnya, "Proyek Perintisan Penyelenggaraan Pendidikan Diploma-1 Studi Kepolisian Pada Perguruan Tinggi Umum". Isinya, tentu saja, segala latar belakang dan klausul untuk membuka program studi kepolisian setingkat D1 di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh provinsi di Indonesia.
Yang menarik dari proposal itu adalah adanya usulan agar program tersebut menjadi syarat untuk para lulusan SMU yang ingin masuk atau menjadi polisi lewat jalur bintara. Dengan kata lain, andai kata proposal itu segera disetujui pelaksanaannya, maka sesuai dengan jadwal yang tertera, program tersebut akan berjalan pada pertengahan tahun 2004.
Artinya, mulai tahun 2005, setiap lulusan SMU yang ingin mendaftar menjadi calon bintara Polri harus melewati pendidikan D1 Studi Kepolisian terlebih dahulu.
Kabarnya, saat ini proyek yang membutuhkan dana persiapan Rp 6,2 miliar itu sudah mencapai tahap sosialisasi kepada Departemen Pendidikan Nasional maupun perguruan tinggi negeri dan swasta (PTN/PTS) yang ada sebagai pihak yang akan menyelenggarakan program tersebut.
Menurut Inspektur Jenderal Farouk Muhammad, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan juga sebagai kepala proyek, program tersebut merupakan program pada tahap awal. Ke depan, rencananya, dari perguruan tinggi yang ada akan diseleksi kembali mana yang akan dipilih untuk membuka program D3 dan Strata 1 Studi Kepolisian.
SEJAUH ini banyak pihak yang sepakat dan optimistis bahwa membuka program studi kepolisian menjadi bidang studi tersendiri akan banyak peminatnya. Pasalnya, selama ini setiap pembukaan pendaftaran calon bintara Polri, jumlah total pendaftar di seluruh Indonesia mencapai sekitar 150.000 orang. Dari jumlah itu, hanya 25.000 orang yang akan dipilih. Artinya, jumlah itu merupakan angka yang sudah pasti "harus" diserap lebih dahulu oleh perguruan tinggi.
Memang, saat ini Polri tengah berupaya menambah jumlah anggotanya secara besar-besaran. Targetnya adalah untuk memenuhi rasio ideal antara jumlah anggota Polri dan masyarakat. Saat ini, secara kuantitas, rasio kekuatan Polri dan masyarakat baru sekitar 1 : 900, sedangkan di beberapa negara, perbandingan jumlah polisi dan masyarakat sudah mencapai 1 : 500. Adapun kriteria PBB, perbandingan jumlah polisi dan masyarakat yang ideal adalah 1 : 350 orang.
Untuk itu, mulai tahun 2003 hingga setidaknya hingga tahun 2007, Polri berencana menambah sekitar 26.000 orang per tahun, di mana 25.000 orang adalah bintara dan sisanya adalah perwira. Dengan demikian, pada tahun 2007 diharapkan rasio antara jumlah anggota Polri dan masyarakat sudah mencapai angka sekitar 1 : 500 orang.
Khusus tingkat bintara, mencapai jumlah 25.000 orang per tahun tidak mudah. Terutama jika mengingat keterbatasan kapasitas dan fasilitas pendidikan yang ada di Sekolah Polisi Negara (SPN). Saat ini tercatat, Polri hanya memiliki 24 SPN di seluruh Indonesia dan 1 Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan).
Untuk mengantisipasi minimnya jumlah SPN dengan besarnya pemenuhan kebutuhan calon bintara Polri, saat ini dilakukan pengurangan waktu pendidikan yang semula delapan bulan menjadi lima bulan dengan masa magang lima bulan dan pembulatan satu bulan (5 + 5 + 1). Bayangkan saja, bagaimana jadinya kualitas bintara polisi kita dengan lama pendidikan hanya lima bulan langsung diberikan kewenangan kepolisian yang besar?
ADA berbagai konsekuensi yang akan muncul jika syarat minimal D1 Studi Kepolisian untuk menjadi calon bintara Polri terealisasi. Pertama, pada batasan usia. Saat ini, rata-rata usia bintara Polri setelah lulus pendidikan adalah 18-19 tahun. Dengan adanya penambahan satu tahun pada program D1, paling tidak, usia lulusan bintara Polri menjadi 20 tahun.
Jika kemudian ada peninjauan kembali pada masa magang yang idealnya adalah sekitar satu tahun sebagaimana juga disebutkan dalam proposal, maka rata-rata lulusan bintara Polri yang sudah "jadi" adalah 21 tahun.
Di satu sisi, pada usia tersebut dapat dikatakan ideal untuk diberikan kewenangan penegakan hukum, memegang senjata, maupun kewenangan kepolisian lainnya. Namun, di lain sisi, tentunya usia tersebut sudah terlalu "tua" bagi para polisi yang akan memulai kariernya pada penugasan yang berbasis gerakan pasukan atau keterampilan fisik, misalnya pasukan Brimob.
Dengan demikian, rasanya perlu dipertimbangkan untuk tetap menerima lulusan SMU (tanpa berpretensi pada adanya "diskriminasi" kualitas) yang khusus diarahkan pada perekrutan untuk bidang penugasan tertentu.
Kedua, pada segi biaya. Besarnya biaya yang dikeluarkan Polri untuk mendidik calon bintaranya dapat lebih diefektifkan. Pertimbangannya, lulusan D1 Studi Kepolisian dianggap sudah memiliki pengetahuan dasar tentang kepolisian.
Ide dari beberapa pihak untuk mengurangi masa pendidikan dengan alasan dapat mengurangi anggaran hingga sekitar 20 persen rasanya bukanlah ide yang bijaksana. Lebih baik jika dana dan waktu yang semula dialokasikan untuk jam pelajaran dalam bidang pengetahuan dasar tentang kepolisian dialihkan untuk menambah jam pelajaran yang berupa teknis kepolisian.
Memang, lulusan D1 Studi Kepolisian tidak dijamin akan diterima sebagai anggota Polri. Mereka tetap harus mengikuti serangkaian tes yang ada. Namun, usulan tersebut dibantah oleh Farouk selaku kepala proyek sebagai usulan yang akan memberatkan masyarakat.
Menurut dia, banyak orang desa yang rela menjual sawah untuk menyuap oknum polisi agar anaknya bisa diterima. Daripada buat suap, lebih baik dananya dialihkan untuk biaya pendidikan. Untuk itu rencananya akan coba menjalin kerja sama dengan instansi lain yang membutuhkan lulusan dengan latar belakang ilmu kepolisian bagi mereka yang tidak lulus pada saat mengikuti tes masuk polisi.
SECARA garis besar perlu diakui bahwa usulan tersebut adalah sebuah usulan yang menarik, terutama di tengah pergulatan mengenai posisi ilmu kepolisian itu sendiri. Pasalnya, saat ini masih ada silang pendapat, apakah ilmu kepolisian merupakan ilmu yang dapat dipelajari oleh setiap orang atau khusus hanya untuk polisi.
Bahkan tidak hanya itu. Penentuan apakah ilmu kepolisian merupakan multidisiplin ilmu atau interdisiplin ilmu juga masih terjadi tarik-menarik pendapat. Bagi yang lebih ekstrem lagi menentang, ilmu kepolisian dikatakan sama dengan ilmu jadi-jadian alias bikin-bikinan dengan alasan bahwa di berbagai negara yang sudah banyak mencetak pakar dalam bidang kepolisian, tidak secara spesifik menyebut istilah ilmu kepolisian (police science atau police studies?).
Berbagai sebab itulah yang antara lain menjadi alasan mengapa para perwira polisi lulusan PTIK yang bergelar sarjana ilmu kepolisian kemudian menjadi "anak tiri", yang dengan berat hati, gelar maupun ilmunya itu tidak diakui, hilang lenyap dan otomatis terhapus ketika mereka berhadapan dengan "dunia luar". Padahal, di Indonesia saat ini tercatat sudah ada tiga PTN yang membuka program ilmu kepolisian.
Tak ayal, memperdebatkan posisi ilmu kepolisian akan menjadi sama ribet dan ributnya dengan ketika sekolah intelijen dibuka untuk umum, di mana lulusannya akan bergelar S1 dan S2 dalam bidang ilmu intelijen.
Adrianus Meliala, kriminolog yang mengkhususkan diri pada bidang kepolisian untuk meraih gelar PhD di Queensland University, Australia, menyebutkan bahwa ilmu kepolisian, sama halnya dengan ilmu intelijen, adalah ilmu yang bisa dipelajari oleh setiap orang. Menurut dia, ilmu kepolisian, sebagaimana ilmu intelijen, bukan monopoli bagi mereka yang berkarier sebagai polisi atau intelijen semata.
Bahkan dengan dipelajarinya ilmu kepolisian untuk umum sebenarnya dapat mendukung arah terwujudnya polisi sipil karena ilmu kepolisian bukan lagi "milik" mereka yang berprofesi sebagai polisi. Dan, tidak setiap orang yang mempelajari ilmu kepolisian harus menjadi polisi.
Artinya, semangat untuk mewujudkan polisi sipil akan terasa menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat, bukan tanggung jawab polisi semata.
F Sidikah R Alumnus Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Mengantisipasi Penyalahgunaan Ilmu Intelijen

Sinar Harapan, 17 Juli 2003
Oleh F. Sidikah R
Alangkah apesnya nasib Ersa Siregar dan kawan-kawan. Maksud hati ingin meliput, malah disandera GAM. Masih disangka intel pula. Paling tidak, para kru RCTI itu, dituduh membantu kegiatan mata-mata militer karena saat liputan, membawa dua orang istri perwira TNI AU. Padahal pihak TNI sendiri sudah menjamin bahwa kedua istri perwira itu, Safrida dan Soraya, bukanlah intel. ”Mereka ibu rumah tangga biasa,” kata Pangkoops Mayjen TNI Bambang Darmono. Bagi seorang intel betulan, digunakannya identitas lain, dalam melakukan operasi intelijen, merupakan strategi tersendiri. Istilahnya cover atau penyamaran. Segala sarana dan prasarana yang dapat mendukung kesempurnaan dalam menjalankan cover-nya, sudah disiapkan lebih dahulu. Jangan heran kalau dalam melakukan penyamaran, adakalanya si intel itu bahkan bisa jauh lebih hebat dibandingkan dengan sosok yang dimainkannya. Itulah sebabnya mengapa Mossad, CIA atau KGB, bisa sampai bertahun-tahun lamanya dalam menyiapkan cover. Jauh sebelum si agen itu beroperasi dan melakukan penetration atau infiltration ke organisasi atau negara sasaran yang dituju. Kalau perlu sampai menikah dengan orang setempat agar cover-nya sempurna dan lepas dari kecurigaan. Ketahuan? Jangan harap bisa selamat alias bebas begitu saja. Minimal kena hukuman penjara karena melakukan kegiatan mata-mata. Kecuali kalau sasaran yang dituju ternyata lebih cerdik. Bisa-bisa si agen yang tertangkap, malah dijadikan double agent bahkan triple agent. Tentu saja risiko seorang double atau triple agent akan jauh lebih besar dihadapi. Syukur-syukur kalau negara sasaran tidak punya undang-undang yang bisa dikenakan terhadap orang yang melakukan kegiatan mata-mata. Misalnya di Indonesia. Bagi intel asing, kalau ketahuan melakukan kegiatan mata-mata, paling-paling cuma diusir dan dideportasi. Itu pun kalau ada bukti.Sedangkan bagi warga negara sendiri yang melakukan kegiatan mata-mata yang jelas-jelas merugikan negara, cuma dikenakan pasal-pasal dalam KUHP tentang kejahatan terhadap keamanan negara, yang isi pasal maupun sanksi hukumannya sangat fleksibel. Nasib paling bagus ya cuma kena blacklist. Itu pun alamat karier selesai. Di dunia intelijen, kalau penyamaran terungkap, daripada kena hukuman, blacklist dan malu seumur hidup, lebih baik memilih mundur, menghilang, ngumpet, atau mati saja sekalian. Makanya, para agen infiltrasi itu banyak yang memilih bunuh diri kalau cover-nya ketahuan musuh.Pada kasus Ersa, di mana pihak GAM menduga bahwa kedua istri perwira itu melakukan kegiatan mata-mata, berawal dari kecurigaan GAM bahwa TNI melakukan operasi intelijen dengan menggunakan cover sebagai wartawan atau petugas PMI. ”Kami memperkirakan intelijen TNI sudah lumpuh sehingga mereka terpaksa menggunakan identitas kewartawanan dan palang merah untuk bisa masuk ke wilayah kami,” ujar Ishak Daud, yang menjadi Panglima Operasi GAM untuk wilayah Peureulak, Aceh Timur Bagi GAM, kecurigaan itu muncul sebagai langkah antisipatif GAM terhadap bocornya pertahanan mereka oleh pihak TNI lewat penggunaan cover tersebut. Padahal strategi yang sama juga dilakukan oleh intel GAM sendiri. Misalnya dengan menyamar sebagai penduduk. Menurut informasi yang didapat intel TNI di lapangan, banyak anggota GAM yang menggunakan KTP penduduk dengan berbagai cara termasuk merampas sehingga memiliki identitas lain sesuai dengan identitas pada KTP yang ada.Memang, dengan alasan operasi atau kegiatan intelijen, tindakan yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal, umumnya dilegitimasi oleh pelaku sebagai perbuatan yang wajar dan dianggap ”sah-sah” saja. Undang-undang IntelijenSaat ini, didirikannya International School of Intelligence di Batam dan Institut Intelijen Negara di Sentul sebagai sekolah intelijen pertama di dunia yang akan beroperasi pada akhir tahun ini, tentu akan membawa paradigma baru dalam bidang intelijen. Paling tidak, adanya perubahan paradigma dalam memandang ilmu intelijen sebagai ilmu dan seni. Selama ini intelijen dianggap tabu untuk dipelajari secara terbuka. Berawal dari diterapkannya ilmu intelijen dalam bisnis (intelligent business/competitive intelligent) pada beberapa negara di dunia. Amerika, Swedia, Perancis, Jerman, Australia, Inggris, Belanda, Swiss, Rusia, RRC dan Jepang sudah memanfaatkan intelijen bisnis atau intelijen kompetitif sejak bertahun-tahun lalu. Penggunaan intelijen dalam industri atau perusahaan membuat industri mereka dapat merajai industri dunia.Di Indonesia sendiri, beberapa tahun belakangan ini intelijen bisnis mulai dipelajari secara terbuka sebagai salah satu mata pelajaran pada beberapa jurusan manajemen. Hal itu menjadi salah satu dasar mengapa ilmu intelijen kemudian dipandang ”layak” untuk dipelajari secara terbuka. Sehingga, ketika Presiden Megawati meminta BIN untuk lebih mengantisipasi kejahatan transnasional dan terorisme dunia setahun lalu, permintaan itu disambut oleh BIN dengan ide mendirikan sekolah untuk mempelajari ilmu intelijen secara terbuka. Sama halnya seperti ilmu kepolisian yang juga mulai dipelajari pada beberapa universitas. Di Universitas Indonesia sendiri, ilmu kepolisian sudah dijadikan sebagai jurusan tersendiri untuk tingkat Strata-2 sejak delapan tahun lalu. Tentu saja belajar ilmu kepolisian tidak otomatis menjadikan lulusannya sebagai polisi. Sama halnya dengan ilmu intelijen. Belajar ilmu intelijen, mestinya memang tidak otomatis menjadikan lulusannya sebagai agen intel di lembaga intelijen tertentu. Sebagai multi disiplin ilmu, tentunya berbagai ilmu yang ada baik ilmu murni maupun ilmu terapan dapat terkait dengan ilmu intelijen.Hanya saja, ada satu hal yang perlu dipikirkan. Memberi kesempatan pada masyarakat umum untuk mempelajari ilmu intelijen secara terbuka, harus diimbangi dengan perangkat lain untuk dapat mengantisipasi jika terjadi dampak negatif dari penerapan ilmu intelijen yang tidak pada tempatnya. Apalagi jika kemudian dipelajari beberapa hal yang sifatnya teknis seperti fotografi rahasia, penyadapan, penyelidikan, pengamanan dan penggalangan atau hal lain yang bersifat teknis dalam melakukan operasi atau kegiatan intelijen.Ada dogma bahwa menjadi ”orang intel” dan berkecimpung dalam ”komunitas intelijen” (intelligent community), bukan berarti bekerja pada sebuah lembaga intelijen tertentu dan menjadi agent action di lembaga tersebut. Ia bisa saja hanya merupakan orang binaan atau sekedar informan pada jaringan tertentu.Ini yang ”berbahaya”, karena sifatnya laten dan tidak terkontrol. Apalagi jika kemudian orang tersebut lepas dari user-nya, yaitu orang atau agent handle yang mengendalikan orang binaan atau informan tersebut Bisa-bisa, sekedar untuk memenuhi need-nya, intelijen malah dijadikan lahan bisnis tersendiri yang cukup empuk. Kalau sudah begitu, yang ada bukan lagi intelijen bisnis tapi bisnis intelijen alias bisnis informasi untuk kepentingan tertentu. Untuk itu, rasanya perlu dipikirkan, agar dapat dibuat semacam undang-undang tentang intelijen. Tentunya isi undang-undang tersebut untuk mengantisipasi berbagai kegiatan atau operasi intelijen dari pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, yang akibatnya dapat merugikan bangsa dan negara lewat pemanfaatan ilmu intelijen secara salah. Adanya undang-undang tersebut juga merupakan alat legitimasi bagi negara, yang tentunya dijalankan oleh polisi, untuk dapat mengambil tindakan hukum terhadap berbagai tindak kejahatan yang terjadi, yang merupakan bagian dari sebuah kegiatan atau operasi intelijen. Bukan tidak mungkin, ke depan, akan berkembang modus-modus kejahatan baru dengan menyimpangkan penggunaan ilmu intelijen tersebut. Jika itu terjadi, mau tidak mau tentu polisilah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk mengambil tindakan hukumnya. Sudah siapkah Polri menghadapi hal itu? Mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia.

Ke Mana Larinya Barang Bukti?

Kompas, 19 Maret 2004
DUGAAN adanya penggelapan, atau bahkan mungkin hilangnya, barang bukti dalam sebuah perkara yang pernah disidik polisi sebenarnya bukan hal yang baru. Tentu saja itu memalukan sekaligus memprihatinkan. Apalagi masyarakat kini tengah menyoroti kinerja polisi yang dinilai belum banyak berubah di era reformasi.
SEORANG mantan Gubenur Akademi Kepolisian bercerita. Suatu waktu, para taruna ditugaskan mengikuti job training di sebuah kepolisian resor. Suatu saat ada kecelakaan lalu lintas. Korban yang tewas di tempat adalah seorang pengusaha. Kebetulan, salah seorang taruna berada di sana ikut menangani perkara tersebut. Seperti biasa, semua barang yang ada di kendaraan maupun benda yang dipakai korban, diamankan petugas.
Setelah barang-barang korban diserahkan kembali kepada istrinya, sang istri mengatakan bahwa jam tangan yang dikembalikan petugas bukanlah milik suaminya. Petugas mengembalikan jam tangan biasa, sedangkan sang suami selalu mengenakan jam tangan merek Rolex asli.
Setelah diusut, petugas yang saat itu mengamankan barang-barang milik korban-yaitu si taruna-mengakui keliru memberikan jam tangan yang telah ditukar dengan jam tangan miliknya. Akhirnya, si taruna pun menukar kembali jam tangan miliknya yang semula sudah diberikan kepada istri korban, dengan jam tangan Rolex yang kemudian-sempat-sempatnya-ia tukar lebih dahulu dengan Rolex palsu.
Tindakan curang itu pun kembali ketahuan karena si istri korban protes lagi. Ia tahu dan bisa membedakan mana Rolex asli dan mana palsu. Cerita pun selesai setelah Rolex yang betul-betul asli milik korban dikembalikan. Entah bagaimana selanjutnya nasib si taruna, karena sang mantan gubernur tidak menceritakannya kembali.
Peristiwa di atas nyaris sama dengan apa yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya beberapa waktu lalu. Para penyidik Polda Metro Jaya diduga telah menggelapkan barang bukti berupa emas dan berlian milik korban perampokan, Abdul Rachman.
Andai saja korban tidak mengenali perhiasan yang ditunjukkan saat sidang di pengadilan bukanlah miliknya, tentu masalah ini tidak akan muncul ke permukaan. Meski demikian, untuk membuktikan kebenarannya, harus diselidiki lebih lanjut oleh pihak kepolisian jika tidak ingin semakin berkembang opini di masyarakat yang akan semakin menyudutkan pihak kepolisian.
Prosedur penyitaan
Bagaimanakah prosedur yang sebenarnya dalam hal penyitaan dan penyimpanan barang bukti oleh pihak kepolisian? Petunjuk Teknis Administrasi Penyidikan menyebutkan untuk melakukan penyitaan diperlukan surat perintah penyitaan. Barang bukti yang disita, kemudian dibuatkan berita acara penyitaan yang akan dimintakan persetujuan atau penetapan penyitaannya dari pengadilan negeri setempat.
Surat perintah itu selanjutnya dicatat dalam buku register penyitaan oleh petugas khusus (bintara administrasi). Dalam buku register tersebut dicatat pula surat-surat lain yang terkait dengan tindak penyitaan. Misalnya saja, tanda penerimaan barang bukti, surat perintah penyegelan barang bukti, surat penitipan barang bukti, dan surat titip rawat barang bukti.
Artinya, apa pun perlakuan yang dikenakan terhadap barang bukti, dari awal penyitaan hingga kemudian berkas acara pemeriksaan tersangka diajukan ke kejaksaan, ada keterangannya yang merupakan legalitas dari perlakuan tersebut. Tentu saja, dalam berbagai surat keterangan dicantumkan pula identitas barang bukti, seperti jenis, jumlah, sifat, terkait dalam tindak pidana apa, siapa tersangka dan siapa penyidiknya, serta data lain yang menyertai.
Namun, adakalanya data tersebut tidak secara lengkap tercatat dalam buku register karena penyidik yang bersangkutan juga tidak memberikan data tersebut kepada petugas pencatat. Seperti dikatakan Maman (bukan nama sebenarnya), bintara administrasi yang bertugas di salah satu kepolisian resor. "Repotnya kalau penyidik enggak ngasih data lengkap, ya mau enggak mau catatan di buku register banyak yang kosong," ujarnya.
Di mana "celahnya" ?
Jika mencermati berbagai aturan yang tertulis dalam petunjuk teknis (juknis), rasanya cukup menjamin bahwa barang bukti yang ada akan "selamat" nasibnya hingga menuju proses persidangan nanti. Meskipun demikian, sebenarnya ada beberapa "celah" yang merupakan peluang terjadinya penyimpangan yang dapat berakibat pada menguapnya barang bukti, baik dalam hal jumlah, keaslian maupun aspek lainnya. Beberapa celah tersebut antara lain diuraikan berikut ini.
1. Proses penyitaan. Dalam hal penyitaan di mana tersangka tertangkap tangan oleh polisi maupun pada saat proses penggeledahan, barang apa pun yang diduga terkait dengan tindak pidana akan dibawa oleh petugas. Patut diingat bahwa barang sitaan adalah barang yang terkait dengan tindak pidana, baik sebagai hasil maupun sebagai alat untuk melakukan tindak pidana.
Barang milik tersangka yang tidak terkait dengan tindak pidana tidak dapat dijadikan sebagai barang sitaan dan harus segera dikembalikan kepada pemiliknya. Hanya saja, umumnya masyarakat tidak berani menanyakan keberadaan benda-benda miliknya yang ikut raib diambil oknum petugas pada saat penangkapan atau penggeledahan.
Misalnya saja yang menimpa CT alias Kmg alias Rb, tersangka kasus narkotika yang ditangkap di rumahnya, di bilangan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Saat digeledah, seluruh isi rumah berikut kendaraan diangkut petugas tanpa kecuali. Menurut mantan Deputi Operasi Kepolisian Negara RI Koesparmono Irsan, biasanya hal itu dilakukan karena umumnya petugas tidak tahu mana barang yang bisa dijadikan bukti dan mana yang bukan.
Proses tersebut biasanya merupakan celah bagi petugas yang nakal dengan mengambil barang milik tersangka untuk kepentingan pribadi. Seorang perwira menengah (komisaris), misalnya, mengaku sering mendapati anak buahnya memalsukan "sesuatu", yang merupakan barang milik tersangka, saat penggeledahan.
Pada proses inilah "penguapan" sangat mungkin terjadi. Penguapan itu pun bisa disebabkan oleh kekurang-cermatan petugas saat mendata ataupun memang merupakan kecurangan yang disengaja. Biasanya, manipulasi itu dilakukan sebelum data diregister dalam buku register penyitaan.
Misalnya apa yang dialami oleh BY (25). Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta ini menjadi korban penipuan saat membeli mobil yang ternyata merupakan barang curian. Belum seminggu mobilnya dijadikan sitaan petugas, karburator beserta tape dan beberapa elemen mobil lainnya raib. Ketika ditanyakan ke petugas, tak seorang pun yang mau bertanggung jawab.
2. Proses pembungkusan. Barang sitaan memiliki aspek yang berbeda satu sama lain. Barang sitaan yang jumlah dan ukurannya memungkinkan untuk di bungkus membuka peluang untuk dibuka kemasannya-tanpa membuat surat keterangan membuka segel-dengan alasan untuk penyidikan atau penyelidikan. Walaupun kemungkinannya kecil, proses pembungkusan kembali dapat dijadikan celah untuk melakukan penyimpangan tersebut.
3. Proses penyimpanan. Dalam Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara (rubasan). Namun, dalam bab penjelasan disebutkan pula bahwa selama belum ada rubasan di daerah tersebut, benda sitaan dapat disimpan di kantor kepolisian, kejaksaan negeri, atau pengadilan negeri setempat.
Apa yang tercantum di bab penjelasan tentunya merupakan celah tersendiri untuk terjadinya penyimpangan karena tidak ada kewajiban dan keharusan menyimpan barang bukti di tempat yang semestinya.
Seorang perwira menengah di Polda Metro Jaya menceritakan bahwa selama menjadi polisi, ia belum pernah menitipkan barang bukti di rubasan. Paling banter di ruang penyimpanan benda sitaan yang ada di kantor polisi tempatnya bertugas. Itu pun jarang karena lebih sering benda sitaan tersebut disimpan sendiri. Alasannya, untuk memangkas waktu dan birokrasi yang ada.
Solusinya
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan tersebut, antara lain :
1. Dibuat peraturan yang lebih spesifik dan jelas mengenai bagaimana seharusnya perlakukan terhadap barang bukti yang ada. Tidak semua barang bukti dapat disimpan oleh penyidik di ruangan sendiri atau di ruang penyimpanan barang bukti di kantor polisi atau bahkan di rubasan.
2. Begitupun halnya dengan pengemasan atau pembungkusan barang bukti yang besar dan jumlahnya memungkinkan untuk dibungkus. Perlu dibuat tempat atau kemasan khusus untuk menyimpan barang bukti sehingga tidak mudah rusak, baik disengaja maupun tidak, yang dapat membuat barang bukti tersebut mudah dikeluarkan dari tempatnya tanpa disertai keterangan resmi. Misalnya, kotak khusus yang transparan dan sebagainya.
3. Perlu dibangun dan disediakan ruang khusus penyimpanan barang bukti yang memadai, yang memiliki standar tertentu.
F Sidikah R Peneliti pada Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

Mahalnya Menjadi Polisi

Kompas, 17 Januari 2004
RESMINYA, untuk menjadi anggota Kepolisian Negara RI tidak dipungut biaya sepeser pun. Asal, semua persyaratan dan tes yang ada dapat dilewati dan dipenuhi dengan baik. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa persyaratan dan tes yang ada dapat "diakali" dengan melewati "jalur khusus" alias "orang dalam". Entah itu berupa uang atau memo dari pihak- pihak tertentu yang mempunyai power.
Besarnya jumlah uang siluman adakalanya tergantung dari berapa banyak dan berapa besar "kekurangan" si calon. Misalnya, persyaratan tinggi dan berat badan yang kurang ideal maupun tes-tes lain yang nilainya kurang. Biasanya, semua itu bisa ditutupi dan disulap dengan berapa besarnya uang siluman yang disetorkan. XY, pengusaha di Medan yang anaknya baru saja dilantik menjadi bintara Polri, menyebutkan, ia "menghabiskan" uang hingga hampir Rp 75 juta untuk dapat meluluskan anaknya dari serangkaian tes yang ada. Pasalnya, si anak memang banyak memiliki nilai kurang untuk persyaratan minimal yang dibutuhkan.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar sebenarnya sudah mewanti-wanti agar anggotanya tidak ada yang memberi memo atau sponsor kepada calon pendaftar. Namun, sering kali memo yang datang bukan berasal dari pejabat Polri, melainkan dari instansi lain, termasuk anggota dewan, bahkan menteri.
Seorang perwira Polri yang bertugas di bagian personel di salah satu kepolisian daerah (polda) menyebutkan, ada kalanya mau tidak mau pendaftar yang masuk kategori "jalur khusus" itu mendapat prioritas. "Padahal, jumlah mereka biasanya tidak bisa dikatakan sedikit," ujarnya. Pernah suatu kali, katanya, seorang kepala polda memberi memo hingga 15 buah. Itu baru memo dari satu orang. "Tapi masak mau semuanya diluluskan. Ya, fifty-fifty-lah. Setengah yang murni, setengah lagi jatah khusus," katanya.
Pendapat lebih ekstrem dikemukakan oleh Adrianus Meliala, doktor di bidang kepolisian, ia menyebutkan, hanya tiga dari 10 calon yang lulus tes masuk polisi secara murni. Sisanya lulus dengan dukungan memo, "telepon", bahkan uang.
Tentu saja tidak sembarangan orang dapat menembus jalur khusus itu. Biasanya hanya orang-orang yang dikenal baik dan bisa dipercaya yang diterima. Sebab, kalau ketahuan, bisa-bisa malah menjadi buah simalakama. Contohnya, yang pernah terjadi di Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu.
Mantan Kepala Bagian Rendiaga Polda Metro Jaya-bagian yang menerima pendaftaran calon anggota Polri-Komisaris Eko Nugrohadi mengingatkan sebaiknya pendaftar tidak mencoba-coba mencari anggota Polri yang menjadi calo atau memanfaatkan jasa calo demi bisa lulus seleksi. Apalagi para oknum yang menjadi calo penerimaan itu biasanya justru bukan bertugas sebagai panitia penerimaan.
"Kalau panitia mana berani. Soalnya, panitia daerah kan diketuai langsung oleh kepala polda," ujarnya. Konsekuensinya, kalau ada memo, pasti juga langsung dilaporkan ke ketua panitia alias kepala polda.
Beberapa waktu lalu ada oknum yang ketahuan menerima uang dari pendaftar dengan menjanjikan calon tersebut pasti lulus jika mau membayar Rp 15 juta. Ternyata calon tersebut tidak lulus, sementara uang Rp 15 juta tidak dikembalikan. Karena merasa ditipu, orangtua korban lantas melapor langsung kepada kepala polda yang langsung mengusut laporan tersebut.
Terungkaplah lima oknum polisi yang memeras para pendaftar dengan janji diterima menjadi anggota Polri. Nilainya bervariasi. Setelah menyidang langsung kelima oknum tersebut, kepala polda memberi sanksi administratif berupa penundaan kenaikan pangkat hingga enam periode.
Tentu cerita di atas hanya mengungkap sebagian yang apes karena tindakannya ketahuan. Jika mulus-mulus saja dan si calon ternyata lulus, fulus yang didapat tentu jumlahnya tidak sedikit. Namun, jika si calon tidak lulus dan uang sudah keburu "disetor", yang bernasib sial adalah si calon. Terutama jika uang yang sudah diberikan tidak dikembalikan dan si oknum menghilang tanpa diketahui jejaknya. Bisa dikatakan, sebenarnya hal itu merupakan modus penipuan yang sering terjadi, tetapi jarang terungkap. Sebab, biasanya korban akan merasa malu sendiri jika hal itu muncul ke permukaan.
Adapun besarnya biaya siluman tersebut kabarnya berbeda di setiap polda. Apalagi kini wewenang penerimaan betul-betul berada di tangan polda masing-masing wilayah. Akan tetapi, bukan berarti biaya siluman menjadi lebih murah. Sebab, kalau dulu mereka harus "membagi jatah" dengan markas besar, kini jatah harus dibagi dengan kepolisian resor (polres) sebagai pintu pertama tahap seleksi awal.
Sebut saja DN, wiraswastawan yang saat ini sedang mendaftarkan anaknya menjadi calon bintara. Ia menyatakan sudah menyiapkan uang Rp 40 juta untuk persiapan. Tentu saja, selain uang, hal lain yang sudah disiapkan sebelumnya adalah berburu "orang dalam". "Saya sudah punya ’orang’ di polres dan polda yang bisa bantu," ujarnya optimistis. Entah bagaimana selanjutnya. Belum jelas benar, apakah anak kesayangannya itu sekarang lulus atau tidak.
MEMBAYAR biaya siluman untuk dapat masuk menjadi anggota atau pegawai dari suatu instansi merupakan salah satu modus dari adanya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang banyak terjadi di negeri ini. Salah satu kiat meminimalisasi peluang munculnya KKN dengan modus membayar biaya siluman tersebut, menurut Eko, adalah dengan memasang pengumuman, baik di tempat pendaftaran maupun di media massa, bahwa dalam proses seleksi dan penerimaan sebagai anggota Polri tidak dipungut biaya sepeser pun.
Pasalnya, sering kali korban yang melaporkan tindak penipuan tersebut tidak tahu hal itu. Pernah terjadi, seorang ibu bertanya kepadanya, kenapa anaknya tidak lulus seleksi, padahal ia sudah "membayar" uang Rp 35 juta kepada seorang polisi. Ketika ditanyai siapa polisi yang dimaksud, ternyata si ibu tidak mengenal oknum tersebut karena ia memang baru kenal dan bertemu di sekitar polda. Tentu saja ini akan sulit diusut.
Cara lain adalah dengan melibatkan pengamanan internal (paminal)-baik provoost maupun intel-selama proses berlangsung. Mereka dilibatkan untuk mengawasi oknum-oknum yang mencoba-coba mencari peluang. Memang, mau tidak mau harus diakui bahwa upaya tersebut belum dapat menjamin proses seleksi berlangsung aman, fair, dan bersih dari upaya-upaya oknum yang ingin berbuat curang.
Suka atau tidak suka, perlu diakui bahwa "kebocoran" sangat mungkin terjadi dan sulit dihapus. Kecuali ada keinginan bersama dari semua pihak untuk mewujudkan Polri yang bersih, mandiri, dan berwibawa tanpa pandang bulu. Ide untuk menerima bintara dengan lebih dahulu harus melewati proses pendidikan di D1 Studi Kepolisian, yang saat ini sedang digodok Polri, merupakan salah satu langkah meminimalisasi peluang KKN tersebut.
Meski demikian, menurut Adrianus Meliala, hal itu pun bukan berarti dapat menghapus KKN, tetapi hanya memindahkan peluang KKN semata. Mau pilih yang mana?
F Sidikah R Alumnus Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Dilema Atasi Gula Selundupan; Antara Konflik Sosial dan Penegakan Hukum

Kompas, 29 Oktober 2004
ADA yang menarik dari munculnya Telegram Rahasia Nomor 851/IX/2004 tanggal 24 September 2004 yang ditandatangani Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung yang ditujukan kepada Polda Riau. Isinya, agar dalam menangani masalah penyelundupan gula di Dumai, turut memerhatikan gejolak buruh.
MASALAH buruh pelabuhan di Dumai saat ini mulai muncul menjadi persoalan krusial. Pada satu sisi, penyelundupan gula yang hingga saat ini masih marak terjadi merupakan pelanggaran hukum yang tidak dapat ditoleransi keberadaannya. Triliunan rupiah negara dirugikan.
Hitung saja, dari Rp 700 yang dikenakan untuk bea per kilogram gula, dan merujuk pada perkiraan Direktur Utama Perum Bulog Widjanarko Puspoyo bahwa dalam setahun sekitar satu juta ton gula diselundupkan, maka dapat dipastikan kerugian negara mencapai Rp 700 miliar per tahun (Kompas, 13/8/2003).
Namun, pada sisi lain, sekitar 4.000 buruh yang terdapat di sembilan pelabuhan rakyat (pelra) di Dumai, menggantungkan hidupnya dari upah mengangkut barang yang notabene ilegal. Endi (19), salah seorang buruh angkut di Pelabuhan Petak Panjang, mengaku dalam sehari ia bisa mengantongi Rp 50.000 dari upah mengangkut. "Kalau tidak ada (kapal) yang masuk, mau makan apa?" ujarnya. Sebuah pertanyaan yang tidak bisa mendapat jawaban pasti.
Jika upaya penyelundupan dicegah, gula disita, pelaku yang biasanya hanya tingkat kroco yang ditangkap, maka ratusan hingga ribuan buruh pun siap turun ke jalan. Tidak kurang dari Kantor Bea dan Cukai, Markas Polresta hingga Kantor DPRD pernah menjadi sasaran demo.
Menurut Kepala Polresta Dumai Ajun Komisaris Besar Khaidir Ismanto Siregar, berdasarkan data intelijen yang didapat, para buruh itu mengaku akan menjadikan sasaran demo bagi siapa saja yang menghalangi masuknya gula ke Dumai.
Tengok saja yang terjadi minggu lalu ketika Kantor DPRD Dumai didatangi ratusan demonstran. Mereka menuntut dilepasnya sopir truk yang ditangkap polisi karena membawa ratusan zak gula yang diduga ilegal. Serunya lagi, 60 kapal yang saat ini kabarnya tengah disiapkan di Northporth, Porth Klang, Malaysia, untuk membawa 18.000 ton gula, dituntut agar diperbolehkan masuk ke Dumai.
Padahal sebelumnya, menurut sumber penulis di kalangan pengusaha gula lokal yang tidak mau disebutkan namanya, sekitar 33 kapal kayu membawa hampir 10.000 ton gula ilegal, dengan sukses merapat masuk lewat pelabuhan-pelabuhan rakyat yang ada.
Modusnya, dengan jalan beriringan, mereka konvoi membonceng Kapal Heng Star yang membawa 2.000 ton gula resmi pasokan PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia), importir resmi yang mendapatkan izin memasok gula impor di Dumai.
Sementara Kapal Heng Star merapat ke Pelindo yang merupakan pelabuhan resmi, maka puluhan kapal kayu tersebut masuk ke pelabuhan-pelabuhan rakyat. Terakhir, 10 kapal kayu yang membawa sejumlah gula yang masing-masing dikemas dalam zak ukuran 50 kilogram, masuk pada Jumat (22/10) lalu lewat Pelra Petak Panjang dan Pelra Nasir.
Seperti biasa, saat ditangkap polisi, ratusan buruh pun ramai-ramai mendatangi Markas Polresta. Menuntut agar sopir truk yang ditangkap saat membawa gula yang baru diturunkan dari kapal dilepas. Bentrokan pun nyaris terjadi.
Alternatif solusi
Rencananya, berkaitan dengan meningkatnya gejolak buruh yang berada pada posisi dilematis dengan adanya upaya penegakan hukum terhadap aksi penyelundupan gula, menurut Suyitno Landung, Mabes Polri berencana untuk menurunkan tim khusus.
Jika terealisasi dan langkah yang diambil tepat, tindakan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya penyelundupan yang lebih besar maupun peristiwa yang berimbas pada terjadinya konflik sosial. Perlu diakui beberapa kerusuhan massa yang pernah terjadi di negara ini berawal dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya.
Pasalnya, para buruh tentu tidak terlalu peduli apakah barang yang diangkut legal atau tidak. Bagi mereka, yang penting pada hari itu mereka bisa mendapatkan uang untuk menyambung hidup esok hari.
Akan tetapi, antisipasi sebaiknya tidak hanya dilakukan di Dumai. Di Pelabuhan TPK Koja Tanjung Priok, misalnya. Dalam hal upaya mengungkap penyelundupan, para buruh bisa dilibatkan untuk memberikan informasi. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Nuryadi, mahasiswa KIK UI tentang buruh pelabuhan di TPK Koja, menguraikan, bahwa sering kali buruh angkut menemukan bahwa jumlah maupun jenis barang yang ada dalam kontainer tidak sesuai dengan dokumen yang ada. Adapun pemeriksaan oleh petugas Bea dan Cukai terhadap isi kontainer biasanya memang hanya dilakukan secara insidentil terhadap barang yang dicurigai atau berdasarkan sampel barang yang ada secara random.
Sejak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keppres No 58/2004 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah, tentunya di seluruh pelabuhan resmi yang ada di Indonesia, pengawasan terhadap pengiriman komoditas tersebut pasti akan berlangsung dengan ketat oleh semua pihak terkait.
Untuk itu, seharusnya perhatian lebih juga ditujukan kepada pelabuhan-pelabuhan tikus sebagai celah masuknya barang-barang selundupan. Walaupun produksi gula nasional pada tahun ini ditargetkan akan mencapai 2,015 juta ton, namun mengingat bahwa pada kenyataannya pasokan gula yang ada menipis, bisa diperkirakan bahwa upaya penyelundupan gula impor belum akan berkurang intensitasnya pada saat ini.
Adanya modus memanfaatkan perdagangan antar-pulau, berdasarkan penemuan yang ada sebelumnya, gula selundupan yang masuk lewat Sumatera pun dikirim ke Jawa dengan menggunakan angkutan darat lewat Pelabuhan Merak. Dengan demikian, tanggung jawab polisilah untuk menghambat pendistribusian gula ilegal di "darat".
Sebagai pintu terakhir dari mata rantai pengawasan terhadap upaya penyelundupan, polisilah yang memiliki tanggung jawab agar gula ilegal maupun barang ilegal lainnya yang lolos dari pengawasan TNI AL serta Bea dan Cukai dapat dijaring. Pertanyaannya, mampukah polisi? Jika tidak, jangan harap kita akan bebas dari terjangan barang-barang selundupan selamanya.
F Sidikah R Alumni KIK UI

Awas, Rampok di Omprengan

Kompas, 11 November 2003
MODUS baru perampokan berkembang. Setelah Elga, Esa (37), Lis (36), dan Lina (30), kini Melianti (27), karyawan di Lippo Cikarang, yang menjadi korban perampokan. Modusnya pun sama. Pelaku merampok korban di atas mobil omprengan.
Jika korban tidak membawa barang berharga atau uang dalam jumlah besar, pelaku "menculik" korban dan membawanya berkeliling sambil memaksa agar korban menyuruh keluarganya mentransfer sejumlah uang yang diminta pelaku. Kalau tidak dituruti, tentu saja pelaku tidak segan-segan mengancam korban untuk melakukan tindakan kekerasan.
Sejak kapan dan bagaimana beroperasi? Hasil penelitian pernah dilakukan Nanang Avianto, mahasiswa Kajian Ilmu Kepolisian UI yang juga seorang pamen Polri tentang Koja, Jakarta Utara, menyebutkan bahwa di daerah itu saja omprengan mobil sudah beroperasi sejak tahun 1960-an.
Pada saat itu, omprengan terutama ditujukan untuk mengangkut barang keluar masuk Pelabuhan Tanjung Priok. Kemudian, lama kelamaan berkembang, tidak hanya mengangkut barang, tetapi juga orang. Hingga saat ini, adanya mobil pribadi yang didwifungsikan menjadi angkutan umum itu tetap beroperasi. Bahkan berkembang di wilayah yang lebih luas lagi.
Rutenya pun tidak hanya mencakup rute dekat, tetapi juga rute jauh, bahkan antarkota. Sebut saja, omprengan yang mangkal di sekitar Cawang, ada yang memiliki rute tujuan Bekasi, Cibinong, hingga Bogor. Sama dengan rute angkutan umum resmi lainnya.
Bedanya, omprengan tidak melayani penumpang dengan rute penuh hingga ke terminal tujuan. Mereka hanya melayani pembeli jasa sekadar untuk melewati jalan tol yang kemudian naik angkutan umum menuju tujuan yang dikehendaki.
Mobil omprengan yang biasa mangkal di sekitar Cawang menuju Bekasi hanya sampai di depan Metropolitan Mal, kemudian memutar kembali ke Cawang. Mobil omprengan tidak hanya beroperasi pada pagi hari, tetapi juga pada malam atau dini hari. Ketika jam angkutan umum sudah tidak beroperasi, mobil omprenganlah yang berperan.
Sebut saja antara lain dari arah Cawang menuju Blok M atau dari Pasar Minggu menuju Blok M, Manggarai atau Blok M ke Ciputat. Pada pukul 02.00 sekali pun, omprengan pasti ada. Baik yang menggunakan mobil pribadi dengan pelat hitam maupun pelat kuning yang "beralih" rute alias berbeda dari rute yang sebenarnya jika beroperasi pada siang hari.
SEMAKIN banyaknya mobil pelat hitam yang beralih fungsi sebagai angkutan umum sebenarnya merupakan cermin dari buruknya pelayanan angkutan umum di negara kita. Sesuai dengan hukum ekonomi, supply terkait dan tergantung dari adanya demand. Peluang itu ditangkap para pemilik mobil untuk mencari keuntungan.
Sebagai gambaran, Toyo, seorang pemilik mobil omprengan di daerah Koja, Jakarta Utara, mengaku, dalam sebulan ia bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp 2 juta-Rp 4 juta.
Keuntungan sebesar itu didapatkan karena ia sekaligus menjadi sopir. Namun, kalau ia menggunakan sopir orang lain, keuntungannya dibagi 25-30 persen untuk sopir.
Sebenarnya, penggunaan mobil pelat hitam yang tidak seharusnya digunakan sebagai mobil angkutan umum dengan pelat kuning merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Jelas-jelas disebutkan dalam Pasal 35 UU tersebut, "Kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang dengan memungut pembayaran hanya dilakukan dengan kendaraan umum." Namun, ternyata ada kerancuan penafsiran antara UU dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993.
Dalam UU secara tegas dijelaskan bahwa untuk kendaraan bermotor, angkutan umum adalah kendaraan angkutan yang dipergunakan untuk umum, baik itu untuk mengangkut orang maupun barang, dan termasuk di dalamnya yang mengandung unsur sewa.
Namun, dalam peraturan pelaksanaan disebutkan bahwa untuk kendaraan sewa bisa memakai tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) pelat hitam. Kerancuan inilah yang membuat peluang kebocoran pelaksanaan penegakan hukum oleh Polri, khususnya polisi lalu lintas, misalnya dengan memberikan setoran harian kepada oknum petugas agar mobil omprengannya dapat beroperasi.
Padahal, Bayley (1995:777), seorang peneliti masalah kepolisian dari Amerika Serikat mengatakan, keberhasilan polisi lalu lintas terletak pada penegakan hukum lalu lintas. Jadi, selama hukum lalu lintas tidak dapat ditegakkan secara konsekuen, dapat dikatakan kinerja polisi lalu lintas belum sepenuhnya dikatakan berhasil.
Namun, tentunya permasalahan dari mulai maraknya modus kejahatan dengan menggunakan mobil omprengan, bukan terletak pada tanggung jawab polisi saja. Ada permasalahan lain yang menyertai tumbuh kembangnya mobil-mobil omprengan yang beroperasi secara liar itu.
Pertama, masalah jam operasi dan rute maupun jumlah angkutan umum resmi. Bisa dikatakan, omprengan itu "mengambil" porsi yang tidak dapat dipenuhi oleh angkutan umum legal yang ada, misalnya pada malam hari.
Padahal, bisa dikatakan aktivitas masyarakat khususnya warga Ibu Kota berlangsung terus tanpa henti selama 24 jam. Sementara itu, tidak semua orang mampu menggunakan jasa pelayanan taksi yang ongkosnya jelas mahal.
Kedua, pelayanan angkutan umum legal terhadap penumpang yang terus terang saja masih jauh dari baik, kalau tidak mau dikatakan buruk. Pada jam "sewa" penumpang melebihi kapasitas mobil yang ada, penumpang harus berjuang keras, bahkan hanya untuk masuk ke mobil. Sebaliknya, pada jam kosong, jumlah penumpang minim sehingga tidak jarang sopir menurunkan penumpangnya di tengah jalan dan
Untuk itu, walaupun masalah kejahatan dengan modus menggunakan mobil omprengan merupakan pekerjaan rumah yang baru bagi polisi, keberadaan mobil omprengan itu sendiri juga merupakan tanggung jawab bersama pihak lain yang terkait dengan angkutan jalan. Tentunya pembenahan harus segera dilakukan sedini mungkin kalau kita tidak mau semakin tertinggal.
F Sidikah R Magister Ilmu Kepolisian UI

Membangun Sistem Keamanan yang Integral

Kompas, 02 September 2003
SEHARI setelah ledakan bom di Hotel JW Marriott yang menyebabkan 152 orang luka-luka dan 12 orang tewas pada Selasa (5/8) lalu, Rapat Koordinasi Bidang Politik dan Keamanan Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan mengeluarkan tiga rekomendasi.
Pertama, setiap instansi pemerintah maupun swasta serta pengelola fasilitas publik diharuskan memiliki standar pengamanan lokal yang dapat mencegah aksi terorisme terutama peledakan bom. Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan ketiga, meningkatkan upaya deteksi dini.
Beberapa hari kemudian, Wakil Presiden Hamzah Haz mengeluarkan usul yang kontroversial, yaitu perlunya memiliki undang-undang keamanan nasional semacam ISA (Internal Security Act) seperti yang dimiliki Malaysia dan Singapura.
Sebelumnya, tanpa harus dikomando atau direkomendasi, pascaledakan di Marriott hampir seluruh pusat perbelanjaan, berbagai instansi pemerintah, dan swasta maupun fasilitas publik lainnya segera meningkatkan pengamanannya. Aparat keamanan pun tidak kalah sigap segera memburu orang-orang dan jaringan teroris yang dicurigai.
Di semua pusat belanja, setiap pengunjung digeledah. Kendaraan diperiksa dengan metal detector. Bahkan pengelola Gedung Bursa Efek Jakarta hanya membolehkan mobil yang dilengkapi stiker khusus yang bisa masuk ke halaman. Tanpa stiker, semua kendaraan dipersilakan menurunkan penumpangnya di luar halaman gedung alias di pinggir jalan. Situasinya, mendadak semua orang menjadi "paranoid". Faktor keamanan menjadi sesuatu yang menempati posisi eksklusif.
Pertanyaannya kemudian adalah, sampai berapa lama hal itu dapat berlangsung? Dalam beberapa peristiwa yang sudah-sudah, peningkatan pengamanan hanya berlangsung selama beberapa minggu saja. Setelah itu? Kembali situasi dianggap aman terkendali.
Derajat pengamanan yang sempat meningkat dikurangi bahkan ada kalanya kembali ke titik nol. Bisa dibilang, kewaspadaan baru meningkat ketika sesuatu telah terjadi, setelah itu pudar kembali alias anget-anget tai ayam.
Sementara itu, para teroris masih berkeliaran dan mencari tahu, kapan dan di mana "titik lemah" pengamanan berada. Dan itulah yang dimanfaatkan untuk menyebar teror kembali.
KECANGGIHAN peralatan deteksi maupun sistem dan standar pengamanan saja ternyata tidak menjamin bebas teror. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah meminimalisasikan kemungkinan para teroris memiliki peluang untuk melakukan aksinya alias deteksi dini yang merupakan tindakan preventif. Deteksi dini tak hanya dilakukan aparat keamanan, tetapi juga melibatkan partisipasi seluruh masyarakat.
Memang tetap diperlukan standar sistem atau tata cara kerja bagi pengamanan dalam (internal security). Antara lain satpam dan aparat keamanan yang berwenang, yaitu kepolisian, metal detector, security alarm, CCTV (closed circuit television), VTR (video tape recorder) hingga peralatan keamanan lain termasuk menetapkan standar perekrutan serta pendidikan dan pelatihan satuan pengamanan (satpam). Beberapa lembaga pelatihan satpam kini sudah mulai membekali peserta didiknya dalam hal antisipasi atau deteksi bom bahkan teknik investigasi dan interogasi.
Meningkatkan partisipasi masyarakat seyogianya bukan hanya dengan membentuk pengamanan swakarsa seperti yang sudah pernah dilakukan. Tetapi yang terpenting adalah adanya prosedur yang terbuka, tepat, dan cepat bagi masyarakat untuk memberikan informasi kepada aparat keamanan.
Masyarakat tahu harus melapor ke mana, kepada siapa, dan yang terpenting ialah bahwa laporannya itu ditanggapi oleh aparat keamanan. Bukan hanya ditampung dan dimasukkan ke keranjang sampah. Sebab, banyak peristiwa terjadi meski sudah dilaporkan kepada aparat keamanan.
F Sidikah R Mahasiswa Kajian Ilmu Kepolisian UI

* Diterbitkan oleh Penerbit Kompas menjadi bagian dalam kumpulan tulisan pada buku ‘‘Politik Kota dan Hak Warga Kota’ , Maret 2006

Mudahnya Orang Memiliki Senjata Api

Kompas, 03 Juli 2003
ANDA mau punya senjata api? Gampang. Beli saja di salah satu perusahaan distributor senjata. Legal? Tentu saja. Si pembeli tentu akan mendapatkan senjata api berikut izin kepemilikan senjata api yang resmi dikeluarkan Mabes Polri dengan jangka waktu setahun dan dapat diperpanjang untuk setahun berikutnya.
Konon, untuk dapat memiliki sebuah senjata api resmi, dana yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 30 juta-Rp 250 juta. Tentunya semua itu tergantung pada jenis senjata, yaitu magasin atau revolver, merek senjatanya, jenis pelurunya karet, timah, atau sekadar pistol gas air mata atau pistol angin serta berapa lama zin kepemilikan senjata api (IKSA) bisa keluar.
Seorang oknum perwira Polri yang biasa berkecimpung mengurus perizinan senjata api bahkan mengatakan pada saya, saat mengantarkan teman mengurus senjatanya minggu lalu, untuk tidak perlu khawatir tidak lulus dalam psikotes. Psikotes memang merupakan salah satu syarat utama bagi calon pemegang senjata api.
Padahal, untuk dapat memiliki sebuah senjata resmi, baik peluru timah maupun peluru karet, seseorang harus melewati beberapa tahap persyaratan tertentu. Mulai dari persyaratan administrasi hingga syarat teknis, seperti tes kesehatan, psikotes, hingga tes menembak. Belum lagi tes wawancara ke berbagai instansi, mulai dari Kodam, Polda, hingga Bais. Namun, tidak perlu khawatir. Ada kalanya berbagai aturan yang njelimet itu tidak perlu dilewati. Asalkan harga cocok, dalam waktu satu bulan dijamin senjata plus izinnya sudah di tangan.
Itu yang resmi. Mau yang tidak resmi? Asalkan tidak takut meringkuk di tahanan, bisa juga. Yang penting Anda punya uang dan jaringan. Mengapa jaringan? Karena biasanya untuk memperoleh senjata api gelap itu berasal dari hasil selundupan. Tentunya, tanpa memiliki jaringan, sulit untuk mendapatkannya walaupun punya banyak uang sekalipun.
Jaringan itu pun berlaku termasuk jika hanya sekadar memiliki senjata api rakitan. Mulai dari yang kualitasnya jelek hingga yang nyaris sempurna bisa didapat.
Heri (36), Salah seorang penggemar olahraga berburu asal Palembang bercerita, ia pernah ditawari seseorang untuk membeli senjata revolver rakitan yang mirip dengan model senjata Smith & Wesson Airlite kaliber 32 seharga tidak lebih dari Rp 3 juta! Murah jika dibandingkan dengan harga untuk mengurus senjata model serupa yang bisa mencapai Rp 100 juta hingga Rp 200 juta.
Mahalnya mengurus izin kepemilikan senjata api, baik berpeluru timah maupun karet atau sekadar pistol gas air mata dan pistol angin, tampaknya menjadi salah satu sebab penyelundupan, selain minimnya pengawasan terhadap berbagai jalur masuk senjata ilegal, seperti di pelabuhan, bandara, jalur diplomatik, hingga jalur laut yang terbuka.
Adanya kecenderungan orang memiliki senjata api dengan berbagai sebab, tentunya dapat dimanfaatkan orang- orang yang tidak bertanggung- jawab untuk mencari pasar pembeli. Akibatnya, kuantitas serta kualitas terjadinya kejahatan dengan menggunakan senjata api pun semakin besar.
Oleh karena itu, pengawasan lebih ketat diperlukan, selain tuntutan undang-undang baru. Selama ini, aturan tersebut tidak ada sehingga bisa dikatakan bahwa berapa banyak jumlah senjata resmi yang berada di suatu wilayah tidak dapat diketahui.
F Sidikah R Mahasiswa Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia