Saturday, April 15, 2006

Awas, Rampok di Omprengan

Kompas, 11 November 2003
MODUS baru perampokan berkembang. Setelah Elga, Esa (37), Lis (36), dan Lina (30), kini Melianti (27), karyawan di Lippo Cikarang, yang menjadi korban perampokan. Modusnya pun sama. Pelaku merampok korban di atas mobil omprengan.
Jika korban tidak membawa barang berharga atau uang dalam jumlah besar, pelaku "menculik" korban dan membawanya berkeliling sambil memaksa agar korban menyuruh keluarganya mentransfer sejumlah uang yang diminta pelaku. Kalau tidak dituruti, tentu saja pelaku tidak segan-segan mengancam korban untuk melakukan tindakan kekerasan.
Sejak kapan dan bagaimana beroperasi? Hasil penelitian pernah dilakukan Nanang Avianto, mahasiswa Kajian Ilmu Kepolisian UI yang juga seorang pamen Polri tentang Koja, Jakarta Utara, menyebutkan bahwa di daerah itu saja omprengan mobil sudah beroperasi sejak tahun 1960-an.
Pada saat itu, omprengan terutama ditujukan untuk mengangkut barang keluar masuk Pelabuhan Tanjung Priok. Kemudian, lama kelamaan berkembang, tidak hanya mengangkut barang, tetapi juga orang. Hingga saat ini, adanya mobil pribadi yang didwifungsikan menjadi angkutan umum itu tetap beroperasi. Bahkan berkembang di wilayah yang lebih luas lagi.
Rutenya pun tidak hanya mencakup rute dekat, tetapi juga rute jauh, bahkan antarkota. Sebut saja, omprengan yang mangkal di sekitar Cawang, ada yang memiliki rute tujuan Bekasi, Cibinong, hingga Bogor. Sama dengan rute angkutan umum resmi lainnya.
Bedanya, omprengan tidak melayani penumpang dengan rute penuh hingga ke terminal tujuan. Mereka hanya melayani pembeli jasa sekadar untuk melewati jalan tol yang kemudian naik angkutan umum menuju tujuan yang dikehendaki.
Mobil omprengan yang biasa mangkal di sekitar Cawang menuju Bekasi hanya sampai di depan Metropolitan Mal, kemudian memutar kembali ke Cawang. Mobil omprengan tidak hanya beroperasi pada pagi hari, tetapi juga pada malam atau dini hari. Ketika jam angkutan umum sudah tidak beroperasi, mobil omprenganlah yang berperan.
Sebut saja antara lain dari arah Cawang menuju Blok M atau dari Pasar Minggu menuju Blok M, Manggarai atau Blok M ke Ciputat. Pada pukul 02.00 sekali pun, omprengan pasti ada. Baik yang menggunakan mobil pribadi dengan pelat hitam maupun pelat kuning yang "beralih" rute alias berbeda dari rute yang sebenarnya jika beroperasi pada siang hari.
SEMAKIN banyaknya mobil pelat hitam yang beralih fungsi sebagai angkutan umum sebenarnya merupakan cermin dari buruknya pelayanan angkutan umum di negara kita. Sesuai dengan hukum ekonomi, supply terkait dan tergantung dari adanya demand. Peluang itu ditangkap para pemilik mobil untuk mencari keuntungan.
Sebagai gambaran, Toyo, seorang pemilik mobil omprengan di daerah Koja, Jakarta Utara, mengaku, dalam sebulan ia bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp 2 juta-Rp 4 juta.
Keuntungan sebesar itu didapatkan karena ia sekaligus menjadi sopir. Namun, kalau ia menggunakan sopir orang lain, keuntungannya dibagi 25-30 persen untuk sopir.
Sebenarnya, penggunaan mobil pelat hitam yang tidak seharusnya digunakan sebagai mobil angkutan umum dengan pelat kuning merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Jelas-jelas disebutkan dalam Pasal 35 UU tersebut, "Kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang dengan memungut pembayaran hanya dilakukan dengan kendaraan umum." Namun, ternyata ada kerancuan penafsiran antara UU dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993.
Dalam UU secara tegas dijelaskan bahwa untuk kendaraan bermotor, angkutan umum adalah kendaraan angkutan yang dipergunakan untuk umum, baik itu untuk mengangkut orang maupun barang, dan termasuk di dalamnya yang mengandung unsur sewa.
Namun, dalam peraturan pelaksanaan disebutkan bahwa untuk kendaraan sewa bisa memakai tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) pelat hitam. Kerancuan inilah yang membuat peluang kebocoran pelaksanaan penegakan hukum oleh Polri, khususnya polisi lalu lintas, misalnya dengan memberikan setoran harian kepada oknum petugas agar mobil omprengannya dapat beroperasi.
Padahal, Bayley (1995:777), seorang peneliti masalah kepolisian dari Amerika Serikat mengatakan, keberhasilan polisi lalu lintas terletak pada penegakan hukum lalu lintas. Jadi, selama hukum lalu lintas tidak dapat ditegakkan secara konsekuen, dapat dikatakan kinerja polisi lalu lintas belum sepenuhnya dikatakan berhasil.
Namun, tentunya permasalahan dari mulai maraknya modus kejahatan dengan menggunakan mobil omprengan, bukan terletak pada tanggung jawab polisi saja. Ada permasalahan lain yang menyertai tumbuh kembangnya mobil-mobil omprengan yang beroperasi secara liar itu.
Pertama, masalah jam operasi dan rute maupun jumlah angkutan umum resmi. Bisa dikatakan, omprengan itu "mengambil" porsi yang tidak dapat dipenuhi oleh angkutan umum legal yang ada, misalnya pada malam hari.
Padahal, bisa dikatakan aktivitas masyarakat khususnya warga Ibu Kota berlangsung terus tanpa henti selama 24 jam. Sementara itu, tidak semua orang mampu menggunakan jasa pelayanan taksi yang ongkosnya jelas mahal.
Kedua, pelayanan angkutan umum legal terhadap penumpang yang terus terang saja masih jauh dari baik, kalau tidak mau dikatakan buruk. Pada jam "sewa" penumpang melebihi kapasitas mobil yang ada, penumpang harus berjuang keras, bahkan hanya untuk masuk ke mobil. Sebaliknya, pada jam kosong, jumlah penumpang minim sehingga tidak jarang sopir menurunkan penumpangnya di tengah jalan dan
Untuk itu, walaupun masalah kejahatan dengan modus menggunakan mobil omprengan merupakan pekerjaan rumah yang baru bagi polisi, keberadaan mobil omprengan itu sendiri juga merupakan tanggung jawab bersama pihak lain yang terkait dengan angkutan jalan. Tentunya pembenahan harus segera dilakukan sedini mungkin kalau kita tidak mau semakin tertinggal.
F Sidikah R Magister Ilmu Kepolisian UI

No comments:

Post a Comment