Saturday, April 15, 2006

Membangun Sistem Keamanan yang Integral

Kompas, 02 September 2003
SEHARI setelah ledakan bom di Hotel JW Marriott yang menyebabkan 152 orang luka-luka dan 12 orang tewas pada Selasa (5/8) lalu, Rapat Koordinasi Bidang Politik dan Keamanan Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan mengeluarkan tiga rekomendasi.
Pertama, setiap instansi pemerintah maupun swasta serta pengelola fasilitas publik diharuskan memiliki standar pengamanan lokal yang dapat mencegah aksi terorisme terutama peledakan bom. Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan ketiga, meningkatkan upaya deteksi dini.
Beberapa hari kemudian, Wakil Presiden Hamzah Haz mengeluarkan usul yang kontroversial, yaitu perlunya memiliki undang-undang keamanan nasional semacam ISA (Internal Security Act) seperti yang dimiliki Malaysia dan Singapura.
Sebelumnya, tanpa harus dikomando atau direkomendasi, pascaledakan di Marriott hampir seluruh pusat perbelanjaan, berbagai instansi pemerintah, dan swasta maupun fasilitas publik lainnya segera meningkatkan pengamanannya. Aparat keamanan pun tidak kalah sigap segera memburu orang-orang dan jaringan teroris yang dicurigai.
Di semua pusat belanja, setiap pengunjung digeledah. Kendaraan diperiksa dengan metal detector. Bahkan pengelola Gedung Bursa Efek Jakarta hanya membolehkan mobil yang dilengkapi stiker khusus yang bisa masuk ke halaman. Tanpa stiker, semua kendaraan dipersilakan menurunkan penumpangnya di luar halaman gedung alias di pinggir jalan. Situasinya, mendadak semua orang menjadi "paranoid". Faktor keamanan menjadi sesuatu yang menempati posisi eksklusif.
Pertanyaannya kemudian adalah, sampai berapa lama hal itu dapat berlangsung? Dalam beberapa peristiwa yang sudah-sudah, peningkatan pengamanan hanya berlangsung selama beberapa minggu saja. Setelah itu? Kembali situasi dianggap aman terkendali.
Derajat pengamanan yang sempat meningkat dikurangi bahkan ada kalanya kembali ke titik nol. Bisa dibilang, kewaspadaan baru meningkat ketika sesuatu telah terjadi, setelah itu pudar kembali alias anget-anget tai ayam.
Sementara itu, para teroris masih berkeliaran dan mencari tahu, kapan dan di mana "titik lemah" pengamanan berada. Dan itulah yang dimanfaatkan untuk menyebar teror kembali.
KECANGGIHAN peralatan deteksi maupun sistem dan standar pengamanan saja ternyata tidak menjamin bebas teror. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah meminimalisasikan kemungkinan para teroris memiliki peluang untuk melakukan aksinya alias deteksi dini yang merupakan tindakan preventif. Deteksi dini tak hanya dilakukan aparat keamanan, tetapi juga melibatkan partisipasi seluruh masyarakat.
Memang tetap diperlukan standar sistem atau tata cara kerja bagi pengamanan dalam (internal security). Antara lain satpam dan aparat keamanan yang berwenang, yaitu kepolisian, metal detector, security alarm, CCTV (closed circuit television), VTR (video tape recorder) hingga peralatan keamanan lain termasuk menetapkan standar perekrutan serta pendidikan dan pelatihan satuan pengamanan (satpam). Beberapa lembaga pelatihan satpam kini sudah mulai membekali peserta didiknya dalam hal antisipasi atau deteksi bom bahkan teknik investigasi dan interogasi.
Meningkatkan partisipasi masyarakat seyogianya bukan hanya dengan membentuk pengamanan swakarsa seperti yang sudah pernah dilakukan. Tetapi yang terpenting adalah adanya prosedur yang terbuka, tepat, dan cepat bagi masyarakat untuk memberikan informasi kepada aparat keamanan.
Masyarakat tahu harus melapor ke mana, kepada siapa, dan yang terpenting ialah bahwa laporannya itu ditanggapi oleh aparat keamanan. Bukan hanya ditampung dan dimasukkan ke keranjang sampah. Sebab, banyak peristiwa terjadi meski sudah dilaporkan kepada aparat keamanan.
F Sidikah R Mahasiswa Kajian Ilmu Kepolisian UI

* Diterbitkan oleh Penerbit Kompas menjadi bagian dalam kumpulan tulisan pada buku ‘‘Politik Kota dan Hak Warga Kota’ , Maret 2006

No comments:

Post a Comment