Saturday, April 15, 2006

Ketika Korban Kejahatan Mulai Melawan

Kompas, 28 Oktober 2003
SEBUT saja namanya Sumartini. Perempuan asal Jawa Tengah yang berprofesi sebagai pedagang di sebuah warung di sekitar Terminal Pulo Gadung itu berperan bak detektif swasta. Selama satu minggu ia menyamar menjadi pemulung, guna menangkap wanita (maaf) pekerja seks komersial (PSK) yang ia yakini mencuri uangnya pada suatu malam.
Hasilnya, sungguh mengejutkan. Perjuangannya tidak sia-sia. Sang pelaku ditemukan dan dengan keyakinan penuh Sumartini minta uangnya dikembalikan. Akhir cerita, terjadi keributan antara pelaku dan korban, yang memancing petugas datang. Pelaku pun digelandang ke kantor polisi.
Di Bekasi, Zulkifli menemukan sendiri anaknya, Yuli Wulandari (4), yang dibawa lari pembantunya yang baru bekerja sepekan di rumahnya. Meski sudah lapor polisi, Zulkifli berusaha mengejar sendiri ke kampung halaman Fitriana, pembantunya, di Wonosobo, Jawa Tengah. Padahal, polisi sendiri belum berangkat ke tujuan karena belum jelas alamatnya di Wonosobo sebelah mana.
Apa pun alasan polisi, faktanya keluarga korban sendiri akhirnya menemukan anaknya-sekaligus pelakunya-tanpa bantuan polisi. Biayanya pun murah. Hanya untuk biaya transpor sekitar Rp 150.000.
Zulkifli sendiri tidak memusingkan apakah kasus tersebut akan berlanjut secara hukum atau tidak. "Buat saya, yang penting Wulan selamat," ujarnya.
Begitulah bagi korban atau keluarganya. Mendapatkan kembali haknya yang diambil orang lain adalah tujuan utama. Intinya, orientasi terletak pada hasil, bukan sekadar proses. Orang bilang, sikat dahulu urusan belakangan.
Sedangkan bagi polisi, proses justru memegang peranan penting. Pasalnya, sebagai aparat penegak hukum, segala tindakannya harus berpegang pada aturan hukum yang berlaku. Salah- salah malah ’menghantam’ badan sendiri dan buntutnya adalah praperadilan. Minimal, cibiran dari masyarakat bahwa polisi tidak profesional dalam bekerja.
Inilah bedanya. Masyarakat maunya cepat. Sedangkan aparat penegak hukum memerlukan banyak prosedur dari penyelidikan, penyidikan, hingga pengajuan berkas acara pemeriksaan ke kejaksaan.
Bukan hal baru
Sebenarnya, fenomena korban kejahatan mencari sendiri pelaku dan kemudian meminta pertanggung- jawabannya dalam berbagai bentuk bukanlah hal baru. Banyaknya kasus pembakaran tersangka pelaku kejahatan oleh massa merupakan salah satu klimaks manifestasi dari fenomena tersebut.
Hanya saja, belakangan ini fenomena itu kembali mencuat ketika pelaku diproses polisi setelah ’ditangkap’ oleh korban. Media massa pun tidak ketinggalan mengeksposnya sebagai gejala baru.
Ada dua kesimpulan positif dan negatif yang dapat ditarik dari fenomena itu. Nilai positifnya, pertama, hal itu merupakan tanda dari bangkitnya kepedulian masyarakat untuk melawan kejahatan.
Kedua, meningkatnya kesadaran masyarakat akan hukum dan munculnya pemahaman bahwa melawan kejahatan bukanlah tanggung jawab aparat penegak hukum semata, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat yang ada. Dalam hal ini, tentunya kerja polisi menjadi sangat terbantu dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam mengungkap kejahatan.
Sedangkan sisi negatifnya, pertama, ini merupakan tanda masih adanya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum. Dengan kata lain, masyarakat belum yakin penuh bahwa melapor ke polisi, akan menyelesaikan masalah. Suka tidak suka, pemeo "lapor hilang kambing malah hilang kerbau" masih tertanam di sanubari masyarakat.
Kedua, jika aparat tidak tanggap terhadap meningkatnya fenomena tersebut, bukan tidak mungkin akan bermunculan ’detektif swasta’ yang ’mengambil alih’ peran aparat dalam ’menyelesaikan kasus’. Padahal, masalah detektif swasta belum tercantum dalam kamus aturan hukum di negara kita.
Jika itu dibiarkan, bukan tidak mungkin yang akan berkembang adalah semakin banyak pelanggaran hukum berdalih ’penegakan hukum’. Akhirnya, kerja aparat justru akan semakin bertambah.
Dampaknya, aparat penegak hukum tidak lagi hanya harus memantau pelaku kejahatan, tetapi juga memonitor korban agar tidak bertindak gegabah dan berlebihan. Bisa-bisa, detektif swasta itu bukan membantu mengungkap kasus, tetapi malah mengacak-acak proses penyelidikan. Untuk itu, kuncinya adalah kerja sama yang baik antara petugas dengan korban kejahatan.
Peluang masyarakat
Memang, seperti dikatakan oleh Ronny Nitibaskara (2001:232), keterlibatan pelaksanaan penegakan hukum oleh masyarakat sangat dimungkinkan dalam bentuk berbagai wadah lembaga extra judicial.
Penjelasan umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAP) pun jelas menyebutkan, "…hak dan kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara,…"
Bisa dikatakan, sejauh apa yang dilakukan masyarakat adalah membantu tugas polisi dan tidak melakukan tindakan yang justru melanggar hukum, hal itu sah-sah saja dilakukan. Apalagi di negara-negara lain saat ini juga berkembang dua model penyelesaian masalah dalam proses penegakan hukum yang tampaknya perlu dipikirkan untuk dikembangkan Polri.
Model pertama, terhadap masalah ketertiban umum (public disorder), masyarakat boleh ikut serta dalam penanganannya. Akan tetapi, dalam masalah penegakan hukum (law enforcement ), hanya polisi saja yang berwenang menanganinya.
Model kedua, law enforcement bisa dilakukan oleh masyarakat melalui pengembangan social enforcement.
Kedua model tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita sendiri saat ini masih menganut pada model pertama. Model kedua sempat menjadi perdebatan dalam rangka otonomi daerah dalam kaitannya dengan kewenangan daerah dalam menerapkan peraturan daerah dan hukum adat yang tentunya tidak bisa diabaikan pula oleh kepolisian di setiap daerah yang berbeda karakteristiknya. Hal ini kemudian berkembang dalam konsep communinty policing yang coba diterapkan oleh Polri saat ini.
Meskipun demikian, dari kedua model tersebut ada semangat yang coba dikedepankan, bahwa polisi tidak hanya berorientasi pada penegakan hukum dan memelihara kedisiplinan semata, tetapi juga pada bagaimana menyelesaikan masalah.
Artinya, bagaimana masyarakat (terutama korban) dapat berperan sebagai bagian dari upaya penyelesaian kasus dan tidak hanya ditempatkan sebagai pihak yang dibiarkan menunggu hasil tanpa kabar. Selama ini, pada umumnya korban memang tidak banyak dilibatkan dalam upaya pengungkapan kasus.
Pada umumnya, mereka hanya diposisikan sebagai pihak yang pasif dan duduk manis menunggu hasil kerja polisi. Akibatnya, banyak muncul keraguan, apakah polisi betul-betul berusaha menyelesaikan kasusnya atau tidak. Apalagi, memang sudah menjadi rahasia umum adanya pemilihan prioritas kasus yang akan diselesaikan lebih dulu, yang bisa tergantung pada berbagai aspek.
Harus diakui, masyarakat kini semakin pintar. Mereka mulai ’tidak bisa diam’ jika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Bisa dikatakan, genderang perang melawan kejahatan mulai ditabuh. Namun, tentunya aparat penegak hukum sebagai pihak yang memegang kendali, harus menjaga agar irama tetap harmonis.
Caranya, aparat jangan hanya berorientasi pada penyelesaian kasus yang besar yang membuat kinerja polisi seolah menonjol. Pasalnya, kejahatan-kejahatan konvensional lah yang sebenarnya justru sering dialami masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, ke mana sebaiknya polisi harus berpihak?
F Sidikah R Magister Ilmu Kepolisian UI

* Diterbitkan oleh Penerbit Kompas menjadi bagian dalam kumpulan tulisan pada buku ‘‘Politik Kota dan Hak Warga Kota’ , Maret 2006

No comments:

Post a Comment