Saturday, June 24, 2006

RUU Lambang Palang Merah; Dilema dibalik Aksi Kemanusiaan

Setiap kali bencana terjadi, euphoria massa untuk menolong bermunculan. Sebut saja, bencana tsunami Aceh, gempa Nias hingga yang terakhir, gempa Jogya, tsunami di sepanjang pantai selatan dan banjir yang melanda ibukota dan sekitarnya. Adakalanya euphoria muncul tidak hanya karena bencana yang disebabkan oleh ‘kemarahan’ alam tapi juga bencana yang disebabkan karena munculnya konflik.

Tentu saja, konflik yang mengakibatkan munculnya berbagai penderitaan manusia. Saat itu, biasanya ‘Palang Merah’ pun bertebaran dimana-mana.. Siapakah yang tidak mengenal Lambang Palang Merah? jika pertanyaan ini dimunculkan, jawabannya hampir dapat dipastikan, bahwa mayoritas di bumi ini pasti mengenal lambang tersebut. Saking terkenalnya, sampai-sampai survey yang pernah dilakukan oleh salah satu lembaga survey di Amerika menyebutkan, bahwa logo atau Lambang Palang Merah termasuk logo yang paling dikenal di dunia, selain Coca Cola dan Mc Donalds.

Di Indonesia, masyarakat umumnya mengenal Lambang Palang Merah sebagai lambang kesehatan, obat, rumah sakit dan segala hal yang berhubungan dengan urusan medis. Itulah sebabnya, mengapa hampir di setiap kegiatan yang dikaitkan dengan aktivitas kesehatan atau medis, Lambang Palang Merah disematkan sebagai ‘pengenal’.

Padahal sejatinya, lambang tersebut tidak boleh digunakan dalam sembarang kegiatan atau kelompok, bahkan yang berkaitan dengan urusan medis sekali pun. Hanya perhimpunan nasional dan kesatuan medis serta rohaniawan militer sajalah yang berhak menggunakan lambang tersebut. Pasalnya, fungsi Lambang Palang Merah telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan bagaimana penggunaannya pun telah diatur dan disepakati bersama dalam Konferensi Internasional PM & BSM ke-20 yang berlangsung di Wina tahun 1965.

Indonesia, sebagai negara peserta konvensi, sebagaimana dikatakan oleh Menkum & HAM, Hamid Awaludin, mempunyai kewajiban hukum untuk merealisasikan isi konvensi tersebut kedalam hukum nasional RI. Hasilnya, setelah melalui jalan yang panjang dan berliku, akhirnya draft RUU Lambang Palang Merah, disepakati menjadi RUU yang akan dibahas lebih lanjut menjadi UU pada tahun ini.

Tragedi 1998

Tersadarnya kepentingan untuk membuat adanya undang-undang yang mengatur tentang penggunaan Lambang Palang Merah, sebenarnya tidak terlepas dari berbagai peristiwa. Salah satunya adalah tragedi Mei 1998. Sebuah tonggak sejarah yang menghembuskan angin demokrasi, yang tidak hanya menjadi cita-cita namun juga realisasi.

Pun begitu banyak mata menjadi terbuka akan berbagai masalah yang mengendap, termasuk penggunaan Lambang Palang Merah yang tak pernah terlihat menjadi sebuah persoalan. Namun maraknya penggunaan yang tidak tepat hingga penyalahgunaan terhadap lambang kemanusiaan itu pun, kemudian muncul menjadi esensi tersendiri, hingga saat ini. Longgarnya berbagai penerapan aturan dan etika yang ada, mendukung untuk tidak terjaminnya Lambang Palang Merah sebagai Tanda Pengenal dan Tanda Perlindungan.

Akibatnya, tidak aneh jika pada beberapa waktu lalu Lambang Palang Merah kerap kali digunakan untuk mendukung berbagai kepentingan tertentu. Mulai yang menunjukan tim medis partai, kampus, media massa, LSM hingga kelompok-kelompok yang tidak jelas afiliasinya. Bahkan, kerap kali digunakan untuk kepentingan intelijen.

Padahal, posisi Palang Merah adalah posisi yang netral. Sebuah langkah yang jangan harap bisa ditiru kembali, jika UU Lambang Palang Merah disahkan, sebab sanksi pidana hingga 10 tahun dan denda tiga ratus juta akan menunggu.

‘Dilema’

Akan diaturnya penggunaan Lambang Palang Merah kedalam UU yang memiliki sanksi hukum terhadap pelanggarannya, tentu akan menjadi ’dilema’ tersendiri. Pasalnya, Masyarakat sudah terlanjur mengenal Lambang Palang Merah sebagai lambang umum pengenal medis. Bahkan dianggap ’sah’ untuk digunakan sebagai kegiatan komersil. Misalnya yang digunakan pada suatu kotak merek obat antiseptik tertentu.

Jika UU disahkan, maka kegiatan komersil yang menggunakan Lambang Palang Merah dapat dikenakan tindakan pidana dan denda tertentu. Adapun nantinya, ijin penggunaan yang sesuai dengan UU sebagai Tanda Perlindungan, hanya diberikan oleh Menteri Pertahanan dan sebagai Tanda Pengenal diberikan oleh ketua umum perhimpunan nasional dalam hal ini adalah Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).

Solusi

Setiap permasalahan, tentu ada solusinya. Untuk itu, perlu adanya sosialiasi yang gencar dan menyeluruh terhadap RUU Lambang Palang Merah serta peraturan penggunaannya kelak. Termasuk, adanya aturan dan kesepakatan untuk menunjukan lambang medis selain palang merah. Misalnya palang hijau sebagaimana sudah diterapkan di negara-negara lain.

Jelas saja, sebab sebuah UU yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat, tidak akan efektif pelaksanaannya jika langsung diterapkan adanya penegakan hukum terhadap pelanggaran. Atau sebaliknya yang umum terjadi, bahwa aturan pun akan tetap diabaikan.

Sebab jika demikian, dimana tidak adanya pemahaman yang benar akan lambang kemanusiaan tetap dibiarkan, maka dapat berimplikasi pada lancar tidaknya sebuah operasi kemanusiaan dijalankan pada situasi tertentu. Misalnya konflik bersenjata. Sebuah peristiwa yang tidak diharapkan namun tidak dapat diprediksi untuk betul-betul tidak akan pernah terjadi di bumi ini.