Sunday, June 28, 2009

Refleksi atas penyusunan RUU Lambang Palang Merah:


Matinya Akal Sehat Ditengah Pertentangan Simbol Perlindungan
oleh:
F. Sidikah R

anggota tim asistensi pemerintah
untuk penyusunan RUU Lambang Palang Merah


Baru saja 4 tahun mengikuti proses pembahasan RUU Lambang Palang Merah, membuat saya dapat mengambil kesimpulan yang amat sangat nyata terlihat, yaitu betapa sebuah penyusunan undang-undang sangat erat kaitannya dengan berbagai kepentingan, selain kepentingan negara. Naif memang, ditengah euforia kebebasan jika saya mengatakan 'baru tahu’. Namun itulah realitanya, karena begitu nyata tanpa sanggup ada yang membatasi lagi…

Termasuk dalam hal pembahasan RUU Lambang Palang Merah. RUU yang tepat pada 12 Oktober 2005 lalu disampaikan pemerintah kepada DPR itu, bisa dibilang berjalan tertatih-tatih dan dipenuhi berbagai kompromi untuk menyatukan banyaknya kepentingan. Walaupun sebetulnya, usia 4 tahun bagi sebuah RUU masih bisa dikatakan balita jika dibandingkan dengan RUU lain yang telah mengendap hingga hitungan windu lamanya.


Keberadaan UU yang mengatur tentang penggunaan lambang sebagai tanda perlindungan memang masih dianggap sebagai hal yang belum prioritas. Hal itu semata-mata disebabkan karena belum adanya pemahaman secara menyeluruh terhadap esensi penggunaan lambang tersebut.


Apalagi saat ini di Indonesia, begitu banyak pihak yang dengan sesuka hati telah terlanjur menyematkan tanda berbentuk palang merah atau bulan sabit merah, khususnya di berbagai fasilitas atau lembaga serta berbagai organisasi dan LSM yang menempatkan diri bergerak dalam bidang kesehatan dan kemanusiaan. Akibatnya, kadung sudah tertanam di benak bahwa lambang palang merah atau lambang bulan sabit merah adalah lambang kesehatan atau lambang kemanusiaan. Padahal, tidaklah sepenuhnya demikian benar adanya.


Pasalnya, ketentuan internasional yang bernama Konvensi Jenewa 1949 telah mensyaratkan, bahwa penggunaan lambang palang merah atau lambang bulan sabit merah adalah berfungsi sebagai tanda perlindungan bagi dinas kesehatan angkatan perang suatu negara di medan pertempuran. Oleh karenanya, kedua lambang tersebut memiliki posisi sama, tidak ada sub ordinat yang mengartikan salah satu lebih tinggi atau lebih rendah diantara lainnya. Namun demikian, dengan adanya prinsip netralitas kemudian ditentukan bahwa suatu negara hanya boleh memilih dan menggunakan salah satunya. Tidak boleh keduanya sekaligus, baik dalam konteks nasional maupun internasional.


Oleh karena berfungsi sebagai tanda perlindungan, untuk itu sejatinya, lambang palang merah atau lambang bulan sabit merah hanya berhak digunakan oleh dinas kesehatan angkatan perang suatu negara. Bukan oleh LSM, apotek, klinik, rumah sakit, dan berbagai kepentingan lain yang tidak terkait dengan kepemilikan dari dinas kesehatan angkatan perang.


Adapun pihak lain yang diberikan hak penggunaan, hanyalah kepada perhimpunan nasional yang didirikan di negara tersebut. Perhimpunan nasional tentunya harus pula menggunakan lambang yang sama digunakan oleh dinas kesehatan angkatan perang negaranya. Pasalnya, di medan pertempuran, perhimpunan nasional diproyeksikan sebagai pihak yang akan memberi bantuan kepada mereka yang terluka di medan perang (kombatan).* Adapun jika ada pihak lain yang dilibatkan, maka mereka akan terintegrasi kedalam perhimpunan nasional atau pun kedalam dinas militer. Inilah esensinya dari sebuah penggunaan lambang palang merah atau lambang bulan sabit merah sebagai tanda perlindungan.


Oleh karena Indonesia telah menentukan lambang palang merah sebagai tanda perlindungan bagi dinas kesehatan TNI, dengan demikian maka perhimpunan nasional yang dibentuk juga menggunakan lambang palang merah dan oleh karenanya bernama Palang Merah Indonesia. Bukanlah hak perhimpunan nasional atau PMI untuk menentukan lambang apa yang akan digunakan. Sehingga andaikata Pemerintah Indonesia menentukan memilih lambang lain yaitu lambang bulan sabit merah sebagai tanda perlindungan bagi dinas kesehatan TNI, maka PMI sebagai perhimpunan nasional di Indonesia, wajib merubah nama dan lambangnya menjadi lambang bulan sabit merah dan mengganti namanya dari Palang Merah Indonesia menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia. (catatan: tidak ada kewajiban bagi pihak yang sudah terlanjur keliru menggunakan nama dan lambang bulan sabit merah untuk melebur kepada perhimpunan nasional)


RUU Lambang Palang Merah

Indonesia, sebagai negara peserta Konvensi Jenewa 1949, tentunya berkewajiban untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut. Keikutsertaan Indonesia telah dinyatakan melalui UU No. 59 tahun 1958. Memang sudah berumur lebih dari setengah abad lamanya. Namun demikian hingga kini kewajiban pemerintah untuk mengatur pelaksanaannya dalam aturan nasional belum tertuang secara jelas.


Peraturan penggunaan tanda dan kata-kata palang merah hanya diatur dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Perperti) No 1 tahun 1962, dimana diantaranya telah mengatur, bahwa yang diperkenankan menggunakan tanda dan kata-kata palang merah hanyalah Komite Palang Merah Internasional, jawatan kesehatan angkatan darat, laut, udara dan Palang Merah Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku pula untuk penggunaan tanda dan nama bulan sabit merah.


Adapun pelanggaran terhadap aturan tersebut, hanya berdasarkan pada pasal 47 UU no 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dimana hukumannya hanyalah hukuman kurungan selama-lamanya sembilan bulan dan denda setinggi-tingginya dua puluh ribu rupiah. Sungguh sanggat tidak sebanding dengan nilai perlindungan terhadap tentara kita.


Untuk itu, antara lain atas dasar kepentingan negara dalam hal perlindungan terhadap dinas kesehatan TNI diwaktu perang, maka pemerintah mengajukan RUU Lambang Palang Merah yang berdasarkan kesepakatan Panja RUU Lambang Palang Merah pada akhir bulan Juni ini, sudah diajukan ke Pansus DPR untuk dibahas sebelum diajukan ke sidang paripurna.


Namun demikian, pada pembahasan-pembahasan di tingkat panja, seringkali tidak ada titik temu yang menyebabkan tidak tercapainya kesepakatan. Ketidaksepakatan itu antara lain, walaupun pada 3 September 2008 Panja sudah memutuskan untuk tetap menggunakan lambang palang merah, namun beberapa dari anggota panja masih menghendaki agar lambang lain yaitu lambang bulan sabit merah juga dapat digunakan secara bersama-sama. dan dapat pula digunakan oleh pihak lain selain yang termasuk dalam ketentuan. Padahal, adalah sangat tidak mungkin menggunakan lebih dari satu lambang, walaupun hanya di tingkat nasional atau pada masa damai sekali pun. Apalagi untuk dapat digunakan pula oleh pihak-pihak yang tidak diperkenankan oleh ketentuan internasional yaitu digunakan oleh LSM atau organisasi kemanusiaan swasta selain oleh dinas kesehatan angkatan perang dan perhimpunan nasional.


Konteks lain yang menjadi perdebatan adalah pada pasal 40 dari RUU tersebut yang mensyaratkan bahwa siapapun yang tidak berhak menggunakan lambang palang merah atau lambang bulan sabit merah, baik perorangan, institusi, lembaga, perkumpulan atau badan hukum lainnya, wajib untuk segera mengganti penggunaan lambang-lambang tersebut dalam waktu 12 bulan sejak undang-undang disahkan. Adapun sanksi pidananya meningkat menjadi hukuman kurungan setinggi-tingginya sepuluh tahun dan denda setinggi-tingginya seratus juta rupiah. Itulah nilai yang ditetapkan bagi kepentingan perlindungan terhadap angkatan perang kita.


RUU Lambang Palang Merah tidak menyatakan sedikitpun bahwa pihak-pihak tersebut harus menghentikan kegiatan, melainkan hanya mengganti lambangnya saja. Kegiatan tetap bisa berlanjut. Terutama kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang sudah kadung menggunakan lambang-lambang yang bukan haknya itu, tetap diperkenankan melakukan kegiatan kemanusiaan dimanapun. Toh, melakukan kegiatan kemanusiaan tentunya berdasarkan pada rasa kemanusiaan, bukan tergantung kepada simbol-simbol tertentu bukan?


Tinggal kita lihat saja nanti, apakah RUU Lambang Palang Merah yang tidak terlepas dari semangat kenetralan, akan tertunda karena diwarnai oleh berbagai kepentingan yang membuat akal sehat menjadi mati, ataukah akan berlanjut tanpa aral namun penuh kompromi? (280609)


catatan*: pada masa damai, perhimpunan nasional memberikan bantuan jika terjadi bencana alam.


Thursday, June 25, 2009

ingin kembali

ingin kembali ke asal
ingin kembali ke dasar
ingin kembali ke awal

tapi yang manakah...?

22:39
250609