Saturday, May 07, 2011

8 Mei 1863 – 8 Mei 2011 Refleksi 148 th Gerakan Internasional Palang Merah/Bulan Sabit Merah; Mengapa hanya Boleh ada Satu Lambang dan Satu Gerakan?

Di Indonesia, mungkin belum banyak yang tahu jika pada 8 Mei, 148 tahun sudah Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah berkiprah di bumi ini. Hampir satu setengah abad mereka berdiri dan selama itu pula bergerak melayani kemanusiaan.


Berawal dari Perang
Bermula dari 152 tahun lalu, tepatnya 24 Juni 1859 di Solferino, sebelah utara Italia, prajurit Perancis dan Austria bertempur selama kurang lebih 16 jam. Pertempuran yang melibatkan lebih dari 320 ribu prajurit dari kedua belah pihak mengakibatkan sekitar 40 ribu prajurit terluka. Pembantaian massal. Demikian kira-kira gambaran pertempuran pada masa itu. Para prajurit hanya dianggap sebagai ‘makanan meriam’. Mayat bergelimpangan. Ribuan prajurit terluka tanpa pertolongan dan perawatan. Sementara saat itu, hanya ada 4 dokter hewan dan seorang dokter yang merawat 1000 orang.



Pada saat pertempuran berlangsung, Henry Dunant seorang pengusaha asal Swiss tengah dalam perjalanan guna keperluan bisnis untuk menemui Kaisar Napoleon III. Saat itu keretanya melewati daerah pertempuran di Solferino. Hatinya tergugah melihat ribuan orang terluka. Dunant pun berhenti dan melupakan rencananya untuk menemui Kaisar. Dunant kemudian mengumpulkan penduduk desa sekitar dan mengajak mereka untuk menolong para prajurit tanpa membedakan asal negaranya. Seruannya pada saat itu ‘Siamo Tutti Fratelly’ yang berarti Kita Semua Bersaudara, menggugah banyak penduduk untuk turut membantu.




Kenangan dari Solferino

Sekembalinya ke Swiss, Dunant menuliskan pengalamannya dan merangkumnya menjadi sebuah buku berjudul ‘Kenangan dari Solferino’. Pada 1862, buku itu dicetaknya dengan biaya sendiri dan dibagikan ke semua pihak yang berpengaruh pada saat itu.

Ada dua ide yang dilontarkan Dunant melalui buku itu, yaitu:
1. Perlunya organisasi sukarelawan yang disiapkan untuk membantu prajurit yang terluka di medan perang.
2. Perlunya kesepakatan internasional yang melindungi para prajurit yang terluka dan melindungi para sukarelawan yang membantu.



Ternyata, ide Dunant mendapat sambutan dari berbagai pihak. Pada 1863, terbentuklah kemudian apa yang disebut dengan Komite Lima, berisi lima orang Swiss yang berpengaruh dan membentuk Komite Internasional untuk Pertolongan bagi Yang Terluka. Pada tahun itu juga, 16 negara sepakat mengadakan pertemuan yang disebut dengan Konferensi Internasional I. Keenam belas Negara itu berkumpul di Swiss dan sepakat mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang terluka di medan pertempuran dan melindungi sukarelawan yang membantu.

Oleh karena pada saat itu para kesatuan medis angkatan perang mereka menggunakan tanda berbeda-beda, maka Negara-negara pun sepakat, bahwa para penolong harus memiliki satu tanda sama yang netral dan berlaku universal. Lahirlah lambang palang merah diatas dasar putih sebagai tanda perlindungan yang berlaku netral dan universal. Tanda atau lambang palang merah diatas dasar putih yang diambil dari kebalikan bendera Swiss yaitu palang putih diatas dasar merah, semata-mata sebagai penghargaan kepada Negara Swiss yang menjadi pelopor dan tempat berlangsungnya Konferensi Internasional.





Digunakannya lambang palang merah diatas dasar putih sebagai penanda bagi penolong prajurit yang terluka di medan perang, membuat Komite Internasional untuk Pertolongan bagi Yang Terluka turut mengadopsi lambang tersebut dan kemudian merubah namanya menjadi Komite Internasional Palang Merah atau ICRC (International Committee of the Red Cross), hingga saat ini. Dan setelah ICRC berdiri, Negara-negara pun turut membentuk organisasi palang merahnya sendiri dan melekatkan lambang palang merah di kesatuan medis angkatan perang serta organisasi sukarelawan yang dibentuk.

Pada 1876, Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) mengusulkan tanda lain untuk penanda bagi pasukan penolongnya, yaitu bulan sabit putih diatas dasar merah. Usulan Ottoman diikuti oleh negara-negara lain yang juga usul untuk menggunakan lambang selain palang merah. Negara-negara yang mengusulkan antara lain Jepang (usulkan lambang berupa bulatan dan garis merah), Persia (usulkan singa dan matahari merah), Afganistan (usulkan gambar istana berwarna merah), India (usulkan gambar roda berwarna merah), Syria (usulkan pohon palem merah), dll. Jika dilihat, bisa dikatakan bahwa semua lambang yang diusulkan mengacu pada lambang negara atau bendera negara mereka. Adapun Ottoman saat itu memiliki bendera bergambar bulan sabit putih diatas dasar merah.





Banyaknya usulan negara-negara untuk adopsi lambang selain palang merah sebagai tanda netral, diterima pada saat berlangsung Konferensi Internasional tahun 1929. Namun demikian hanya dua lambang alternative palang merah yang disetujui, yaitu lambang bulan sabit merah diatas dasar putih serta lambang singa & matahari merah diatas dasar putih. Hanya diterimanya usulan dari dua negara tidaklah aneh, karena pada saat itu Kerajaan Ottoman dan Kerajaan Persia (saat ini Irak), adalah dua kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas diantara negara-negara lainnya.




186 Perhimpunan Palang Merah/Bulan Sabit Merah di 186 Negara

Kedua ide Henry Dunant telah terpenuhi. Pertama, membentuk organisasi sukarelawan, terealisasi dengan didirikannya organisasi sukarelawan Palang Merah/Bulan Sabit Merah di setiap Negara yang disebut dengan Perhimpunan Nasional. Dan, adanya kesepakatan internasional terealisasi dengan apa yang saat ini disebut Hukum Humaniter Internasional (HHI). HHI berawal dari adanya Konvensi-konvensi Jenewa yang mengatur tentang perlindungan bagi prajurit yang terluka di medan pertempuran darat, laut serta korban kapal karam, perlindungan bagi penduduk sipil dan tawanan perang. Konvensi-konvensi Jenewa saat ini telah diratifikasi oleh 191 negara di dunia (termasuk Indonesia).

Saat ini, dari 191 negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa, ada 186 negara yang telah membentuk Perhimpunan Nasional. 5 negara lainnya, ada yang Perhimpunan Nasionalnya dalam proses pembentukan atau pun telah membentuk, namun keberadaannya belum dapat diakui secara internasional oleh ICRC sehingga belum dapat menjadi anggota Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC).
Pasalnya, ada sepuluh syarat agar negara dapat mendirikan Perhimpunan Nasional, atau agar Perhimpunan Nasionalnya diakui secara internasional. Sepuluh syarat yang harus terpenuhi seluruhnya, adalah:

1. Didirikan disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa 1949.
2. Satu-satunya Perhimpunan Nasional Palang Merah/Bulan Sabit Merah di
Negaranya.
3. Diakui oleh Pemerintah Negaranya.
4. Memakai nama dan lambang Palang Merah ATAU Bulan Sabit Merah.
5. Bersifat mandiri.
6. Memperluas kegiatan di seluruh wilayah.
7. Terorganisir dalam menjalankan tugasnya dan dilaksanakan diseluruh wilayah
negaranya.
8. Menerima anggota tanpa membedakan latar belakang.
9. Menyetujui statuta Gerakan.
10. Menghormati Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan
dengan prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional.

Semua syarat adalah mutlak, namun ada 4 poin yang seringkali menjadi permasalahan dan betul-betul penentu agar syarat lainnya dapat terpenuhi dengan mudah, yaitu syarat pertama hingga keempat.

Syarat pertama; suatu negara baru bisa mendirikan Perhimpunan Nasional jika mereka setuju dengan aturan-aturan yang tercantum dalam Kovensi-konvensi Jenewa. Dan, pengakuan internasional atas keberadaan Perhimpunan Nasional tidak terkait dengan apakah negaranya juga menjadi anggota PBB atau tidak.

Syarat kedua, suatu negara hanya boleh mendirikan satu Perhimpunan Nasional yaitu Perhimpunan Palang Merah atau Perhimpunan Bulan Sabit Merah. Tidak boleh ada dua atau lebih Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang berbeda atau sama sekalipun dalam suatu negara. Hal itu semata-mata untuk menjaga netralitas dan ketidak berpihakan pada kelompok atau golongan manapun.

Syarat ketiga, suatu Perhimpunan Nasional harus diakui oleh pemerintahnya sebagai satu-satunya Perhimpunan Nasional yang didirikan berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa. Beberapa negara yang terdapat lebih dari satu organisasi yang diidentikan sebagai Perhimpunan Nasional, maka Perhimpunannya itu akan ditunda pengakuan internasionalnya sampai pemerintah memutuskan untuk menunjuk salah satunya.

Syarat keempat, mengatur bahwa suatu negara hanya boleh mengakui penggunaan satu lambang palang merah atau bulan sabit merah di dalam negaranya. Pasalnya, sesuai yang tercantum dalam Konvensi Jenewa, hanya ada dua pihak yang diperkenankan menggunakan lambang palang merah atau bulan sabit merah yaitu kesatuan medis angkatan perang suatu negara dan organisasi sukarelawan yang diakui pendiriannya oleh negara sebagai Perhimpunan Nasional negaranya.

Satu hal yang terpenting adalah: lambang yang digunakan oleh Perhimpunan Nasional harus sama dengan lambang yang digunakan oleh kesatuan medis angkatan perang negaranya. Sehingga tidak mungkin jika misalnya, kesatuan medis angkatan perang suatu negara menggunakan lambang palang merah kemudian Perhimpunan Nasionalnya menggunakan lambang bulan sabit merah atau sebaliknya. Pasalnya, penggunaan lambang tersebut oleh kesatuan medis angkatan perang dan oleh Perhimpunan Nasional merupakan representative dari tanda perlindungan di medan perang dari suatu negara.






Bagaimana di Indonesia?
Banyak hal istimewa yang terjadi di Indonesia terkait pendirian Perhimpunan Nasional dan ratifikasi Konvensi Jenewa. Perhimpunan Nasional yang didirikan di Indonesia, yaitu Palang Merah Indonesia (PMI), telah berdiri satu bulan setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya 17 September 1945. Sementara Indonesia sendiri baru meratifikasi Konvensi Jenewa pada tahun 1958 melalui UU No 59 tahun 1958 serta baru menetapkan penggunaan lambang palang merah untuk kesatuan medis angkatan perang di Indonesia melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi no. 1 tahun 1962.

Pendirian PMI dimungkinkan, walaupun saat itu Indonesia belum meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa (karena baru pada 1949 keempat Konvensi-konvensi Jenewa menjadi satu kesatuan). Pasalnya, sejak 1873 telah beroperasi Palang Merah Belanda atau NIRK (Het Nederland-Indische Rode Kruis) yang kemudian berubah nama menjadi NERKAI (Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie), jauh sebelum bumi pertiwi ini merdeka. Sehingga, pendirian badan palang merah nasional di Indonesia juga menjadi penanda telah lahirnya negara merdeka yang berdaulat bernama Indonesia.



Namun setelah 66 tahun PMI berdiri, agaknya keberadaan PMI sebagai bagian dari Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, mulai mendapat cobaan nyata. Secara de jure, tidak ada satu pun yang bisa menyanggah legalitas PMI sebagai satu-satunya Perhimpunan Nasional yang diakui di Indonesia maupun internasional. Di Indonesia, PMI telah diakui sebagai satu-satunya Perhimpunan Nasional sejak 16 Januari 1950 melalui Keppres No 25 tahun 1950. Secara internasional, pada 15 Juni 1950 PMI telah diakui keberadaannya oleh ICRC, dan IFRC pun menerima keanggotaan PMI pada 16 Oktober 1950 sebagai urutan ke-68 dari Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang ada di seluruh dunia.

Bagaimana dengan de facto? Apakah keberadaan PMI sebagai satu-satunya Perhimpunan Nasional Palang Merah dipertanyakan? Sebetulnya tidak, karena tidak ada satu pun organisasi yang ‘berani’ mengenakan lambang palang merah dan menamakan organisasinya sebagai perhimpunan palang merah. Namun berbeda dengan bulan sabit merah yang notabene sebetulnya adalah juga lambang yang hanya boleh digunakan oleh kesatuan medis angkatan perang dan Perhimpunan Nasional di suatu negara.

Di Indonesia ada dua organisasi yang menggunakan lambang bulan sabit merah yaitu Mer-C dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Keduanya sama-sama memposisikan diri sebagai organisasi atau lembaga yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, sama seperti PMI. Keduanya pun menjalankan operasi kemanusiaanya tidak hanya di Indonesia melainkan juga di luar negeri, sama seperti PMI. Bedanya adalah pada wilayah bantuan kemanusiaan. Jika PMI tidak memfokuskan diri untuk membantu negara-negara tertentu yang berlatar agama, maka Mer-C dan BSMI umumnya lebih fokus membantu negara-negara tertentu yang berlatar agama. Sebut saja misalnya fokus pada bantuan pendirian RS di Gaza (oleh Mer-C) dan beasiswa untuk mahasiswa Gaza (oleh BSMI). Keberpihakan pun nyata. Mer-C dan BSMI berada pada posisi memihak Palestina dan memusuhi Israel.

Adapun PMI, walaupun turut memberi bantuan untuk rakyat Palestina, namun prinsip Kenetralan yang sama dipegang oleh seluruh anggota Gerakan Internasional Palang Merah/Bulan Sabit Merah, membuat PMI tidak boleh memusuhi atau mendukung salah satunya. Sehingga pada saat kunjungan ke Palestina dan bertemu dengan Bulan Sabit Merah Palestina, PMI juga mengunjungi dan bertemu dengan Magen David Adom (Kristal Merah) sebagai Perhimpunan Nasional di Israel. Dengan demikian, bagi mereka yang membantu dengan motivasi latar agama yang lebih kuat, tentu wajar jika lebih tertarik bergabung atau sekedar berdonasi melalui kedua organisasi tersebut, dibandingkan melalui PMI yang tidak menempatkan agama sebagai latarnya.




Namun demikian antara Mer-C dan BSMI memiliki perbedaan yang cukup signifikan terutama dalam hal pengembangan organisasinya. Jika Mer-C merasa cukup dengan menempatkan diri sebagai LSM berbadan hukum yayasan, maka BSMI lebih dari itu. Melalui berbagai proses legalitas, BSMI berhasil merubah bentuk organisasinya, yang semula bernama dan berbentuk yayasan, namun kini sudah bernama dan berbentuk perhimpunan, sama seperti PMI. Bedanya, jika pendirian Perhimpunan PMI berdasarkan Keppres, maka pendirian Perhimpunan BSMI berdasarkan legalitas dari Kemenkumham.
(ini berarti, ada 'pertentangan' antara Keppres dengan SK menteri).

Dalam hal pengembangan organisasi, Mer-C hanya membuka cabang di beberapa wilayah. Adapun BSMI, mengikuti PMI dengan membuka cabang secara intens berdasarkan tingkatan wilayah pemerintahan yaitu tingkat provinsi dan kabupaten. Walaupun baru sekitar 80 cabang tingkat kabupaten/kota dan baru 1 cabang tingkat provinsi, namun berdasarkan AD/ART BSMI tahun 2010, mereka memfokuskan diri untuk hingga 2015 dapat terbentuk di seluruh wilayah pemerintahan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sama seperti PMI yang telah terdapat di 33 provinsi dan lebih dari 400 kabupaten/kota.

Untuk keanggotaan pun berbeda. Mer-C tidak membuka kelompok anggota tingkat remaja. Adapun BSMI, mulai membuka keanggotaan tingkat remaja bernama Bulan Sabit Merah Remaja (BSMR) di tingkat pelajar. Sama seperti PMI yang memiliki Palang Merah Remaja (PMR) di tingkat SD-SMA. Bedanya, keberadaan PMR sudah secara sah memiliki legalitas terdaftar sebagai unit kegiatan pelajar yang berada dibawah koordinasi pemerintah, adapun BSMI murni berada dibawah otonomi sekolah.



Pertanyaannya, apakah posisi BSMI sudah sama seperti PMI, sebagai Perhimpunan Nasional Palang Merah/Bulan Sabit Merah yang merupakan bagian dari Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah? Jawabannya, tentu belum! Mengapa belum? Bukan tidak?

Alasannya, adalah merupakan kebijakan politik pemerintah, untuk mendirikan atau menunjuk organisasi mana yang akan menjadi satu-satunya Perhimpunan Nasional yang sah di negaranya. Khusus terkait penggunaan lambang palang merah/bulan sabit merah, juga merupakan hak pemerintah untuk menentukan mana lambang yang akan digunakan oleh negaranya sebagai tanda perlindungan di waktu perang; palang merah atau bulan sabit merah. Harus salah satu.

Artinya: Hingga saat ini, di Indonesia masih PMI satu-satunya Perhimpunan Nasional Palang Merah/Bulan Sabit Merah yang sah diakui secara nasional maupun internasional. Dan, hanya palang merah sebagai tanda perlindungan yang sah digunakan oleh NKRI untuk dinas kesehatan TNI.

Pertanyaannya, mungkinkan berubah? Jawabannya adalah ya!
Dengan catatan: Pemerintah harus terlebih dahulu mengganti tanda perlindungan yang digunakan oleh Indonesia, dalam hal ini Dinas Kesehatan TNI, dari palang merah menjadi bulan sabit merah. Dan kemudian, oleh karena PMI adalah Perhimpunan Nasional yang sudah ditunjuk resmi oleh pemerintah sejak 1945, maka PMI pun wajib mengganti lambangnya menjadi bulan sabit merah dan mengganti namanya menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia. Lantas bagaimana dengan Perhimpunan BSMi yang sudah ada sekarang? cepat atau lambat, pilihan mengganti lambang dan nama adalah satu-satunya pilihan jika tetap ingin eksis berkegiatan kemanusiaan. Bukankah untuk melakukan kegiatan kemanusiaan, tidak harus menggunakan lambang dan nama bulan sabit merah?

Itu normalnya.

Namun kembali pada kebijakan politik pemerintah kelak. Dengan alasan politis atas nama kemanusiaan, bisa saja justru Keppres PMI sebagai Perhimpunan Nasional yang akan dicabut dan kemudian menunjuk Perhimpunan BSMI yang ada saat ini menjadi Perhimpunan Nasional yang sah menggantikan PMI. Dan keanggotaan secara internasional pun dapat berubah dengan syarat, Perhimpunan Nasional yang ditunjuk Pemerintah Indonesia kelak, dapat memenuhi kesepuluh syarat pendirian Perhimpunan Nasional sebagaimana telah disebutkan diatas. Termasuk dapat memenuhi Tujuh (bukan sembilan) Prinsip Dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yaitu Kemanusiaan, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.

Namun apapun pilihannya kelak, semua ada konsekuensinya terutama konsekuensi sosial dan konsekuensi politik, karena aturan internasional, mutlak hanya membolehkan di Satu Negara hanya ada Satu Lambang dan Satu Gerakan. Artinya, cepat atau lambat, salah satu harus mengalah.

Dirgahayu 148 tahun Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Siamo Tutti Fratelly.