Saturday, April 15, 2006

Dilema Atasi Gula Selundupan; Antara Konflik Sosial dan Penegakan Hukum

Kompas, 29 Oktober 2004
ADA yang menarik dari munculnya Telegram Rahasia Nomor 851/IX/2004 tanggal 24 September 2004 yang ditandatangani Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung yang ditujukan kepada Polda Riau. Isinya, agar dalam menangani masalah penyelundupan gula di Dumai, turut memerhatikan gejolak buruh.
MASALAH buruh pelabuhan di Dumai saat ini mulai muncul menjadi persoalan krusial. Pada satu sisi, penyelundupan gula yang hingga saat ini masih marak terjadi merupakan pelanggaran hukum yang tidak dapat ditoleransi keberadaannya. Triliunan rupiah negara dirugikan.
Hitung saja, dari Rp 700 yang dikenakan untuk bea per kilogram gula, dan merujuk pada perkiraan Direktur Utama Perum Bulog Widjanarko Puspoyo bahwa dalam setahun sekitar satu juta ton gula diselundupkan, maka dapat dipastikan kerugian negara mencapai Rp 700 miliar per tahun (Kompas, 13/8/2003).
Namun, pada sisi lain, sekitar 4.000 buruh yang terdapat di sembilan pelabuhan rakyat (pelra) di Dumai, menggantungkan hidupnya dari upah mengangkut barang yang notabene ilegal. Endi (19), salah seorang buruh angkut di Pelabuhan Petak Panjang, mengaku dalam sehari ia bisa mengantongi Rp 50.000 dari upah mengangkut. "Kalau tidak ada (kapal) yang masuk, mau makan apa?" ujarnya. Sebuah pertanyaan yang tidak bisa mendapat jawaban pasti.
Jika upaya penyelundupan dicegah, gula disita, pelaku yang biasanya hanya tingkat kroco yang ditangkap, maka ratusan hingga ribuan buruh pun siap turun ke jalan. Tidak kurang dari Kantor Bea dan Cukai, Markas Polresta hingga Kantor DPRD pernah menjadi sasaran demo.
Menurut Kepala Polresta Dumai Ajun Komisaris Besar Khaidir Ismanto Siregar, berdasarkan data intelijen yang didapat, para buruh itu mengaku akan menjadikan sasaran demo bagi siapa saja yang menghalangi masuknya gula ke Dumai.
Tengok saja yang terjadi minggu lalu ketika Kantor DPRD Dumai didatangi ratusan demonstran. Mereka menuntut dilepasnya sopir truk yang ditangkap polisi karena membawa ratusan zak gula yang diduga ilegal. Serunya lagi, 60 kapal yang saat ini kabarnya tengah disiapkan di Northporth, Porth Klang, Malaysia, untuk membawa 18.000 ton gula, dituntut agar diperbolehkan masuk ke Dumai.
Padahal sebelumnya, menurut sumber penulis di kalangan pengusaha gula lokal yang tidak mau disebutkan namanya, sekitar 33 kapal kayu membawa hampir 10.000 ton gula ilegal, dengan sukses merapat masuk lewat pelabuhan-pelabuhan rakyat yang ada.
Modusnya, dengan jalan beriringan, mereka konvoi membonceng Kapal Heng Star yang membawa 2.000 ton gula resmi pasokan PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia), importir resmi yang mendapatkan izin memasok gula impor di Dumai.
Sementara Kapal Heng Star merapat ke Pelindo yang merupakan pelabuhan resmi, maka puluhan kapal kayu tersebut masuk ke pelabuhan-pelabuhan rakyat. Terakhir, 10 kapal kayu yang membawa sejumlah gula yang masing-masing dikemas dalam zak ukuran 50 kilogram, masuk pada Jumat (22/10) lalu lewat Pelra Petak Panjang dan Pelra Nasir.
Seperti biasa, saat ditangkap polisi, ratusan buruh pun ramai-ramai mendatangi Markas Polresta. Menuntut agar sopir truk yang ditangkap saat membawa gula yang baru diturunkan dari kapal dilepas. Bentrokan pun nyaris terjadi.
Alternatif solusi
Rencananya, berkaitan dengan meningkatnya gejolak buruh yang berada pada posisi dilematis dengan adanya upaya penegakan hukum terhadap aksi penyelundupan gula, menurut Suyitno Landung, Mabes Polri berencana untuk menurunkan tim khusus.
Jika terealisasi dan langkah yang diambil tepat, tindakan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya penyelundupan yang lebih besar maupun peristiwa yang berimbas pada terjadinya konflik sosial. Perlu diakui beberapa kerusuhan massa yang pernah terjadi di negara ini berawal dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya.
Pasalnya, para buruh tentu tidak terlalu peduli apakah barang yang diangkut legal atau tidak. Bagi mereka, yang penting pada hari itu mereka bisa mendapatkan uang untuk menyambung hidup esok hari.
Akan tetapi, antisipasi sebaiknya tidak hanya dilakukan di Dumai. Di Pelabuhan TPK Koja Tanjung Priok, misalnya. Dalam hal upaya mengungkap penyelundupan, para buruh bisa dilibatkan untuk memberikan informasi. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Nuryadi, mahasiswa KIK UI tentang buruh pelabuhan di TPK Koja, menguraikan, bahwa sering kali buruh angkut menemukan bahwa jumlah maupun jenis barang yang ada dalam kontainer tidak sesuai dengan dokumen yang ada. Adapun pemeriksaan oleh petugas Bea dan Cukai terhadap isi kontainer biasanya memang hanya dilakukan secara insidentil terhadap barang yang dicurigai atau berdasarkan sampel barang yang ada secara random.
Sejak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keppres No 58/2004 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah, tentunya di seluruh pelabuhan resmi yang ada di Indonesia, pengawasan terhadap pengiriman komoditas tersebut pasti akan berlangsung dengan ketat oleh semua pihak terkait.
Untuk itu, seharusnya perhatian lebih juga ditujukan kepada pelabuhan-pelabuhan tikus sebagai celah masuknya barang-barang selundupan. Walaupun produksi gula nasional pada tahun ini ditargetkan akan mencapai 2,015 juta ton, namun mengingat bahwa pada kenyataannya pasokan gula yang ada menipis, bisa diperkirakan bahwa upaya penyelundupan gula impor belum akan berkurang intensitasnya pada saat ini.
Adanya modus memanfaatkan perdagangan antar-pulau, berdasarkan penemuan yang ada sebelumnya, gula selundupan yang masuk lewat Sumatera pun dikirim ke Jawa dengan menggunakan angkutan darat lewat Pelabuhan Merak. Dengan demikian, tanggung jawab polisilah untuk menghambat pendistribusian gula ilegal di "darat".
Sebagai pintu terakhir dari mata rantai pengawasan terhadap upaya penyelundupan, polisilah yang memiliki tanggung jawab agar gula ilegal maupun barang ilegal lainnya yang lolos dari pengawasan TNI AL serta Bea dan Cukai dapat dijaring. Pertanyaannya, mampukah polisi? Jika tidak, jangan harap kita akan bebas dari terjangan barang-barang selundupan selamanya.
F Sidikah R Alumni KIK UI

No comments:

Post a Comment