Saturday, April 15, 2006

Ke Mana Larinya Barang Bukti?

Kompas, 19 Maret 2004
DUGAAN adanya penggelapan, atau bahkan mungkin hilangnya, barang bukti dalam sebuah perkara yang pernah disidik polisi sebenarnya bukan hal yang baru. Tentu saja itu memalukan sekaligus memprihatinkan. Apalagi masyarakat kini tengah menyoroti kinerja polisi yang dinilai belum banyak berubah di era reformasi.
SEORANG mantan Gubenur Akademi Kepolisian bercerita. Suatu waktu, para taruna ditugaskan mengikuti job training di sebuah kepolisian resor. Suatu saat ada kecelakaan lalu lintas. Korban yang tewas di tempat adalah seorang pengusaha. Kebetulan, salah seorang taruna berada di sana ikut menangani perkara tersebut. Seperti biasa, semua barang yang ada di kendaraan maupun benda yang dipakai korban, diamankan petugas.
Setelah barang-barang korban diserahkan kembali kepada istrinya, sang istri mengatakan bahwa jam tangan yang dikembalikan petugas bukanlah milik suaminya. Petugas mengembalikan jam tangan biasa, sedangkan sang suami selalu mengenakan jam tangan merek Rolex asli.
Setelah diusut, petugas yang saat itu mengamankan barang-barang milik korban-yaitu si taruna-mengakui keliru memberikan jam tangan yang telah ditukar dengan jam tangan miliknya. Akhirnya, si taruna pun menukar kembali jam tangan miliknya yang semula sudah diberikan kepada istri korban, dengan jam tangan Rolex yang kemudian-sempat-sempatnya-ia tukar lebih dahulu dengan Rolex palsu.
Tindakan curang itu pun kembali ketahuan karena si istri korban protes lagi. Ia tahu dan bisa membedakan mana Rolex asli dan mana palsu. Cerita pun selesai setelah Rolex yang betul-betul asli milik korban dikembalikan. Entah bagaimana selanjutnya nasib si taruna, karena sang mantan gubernur tidak menceritakannya kembali.
Peristiwa di atas nyaris sama dengan apa yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya beberapa waktu lalu. Para penyidik Polda Metro Jaya diduga telah menggelapkan barang bukti berupa emas dan berlian milik korban perampokan, Abdul Rachman.
Andai saja korban tidak mengenali perhiasan yang ditunjukkan saat sidang di pengadilan bukanlah miliknya, tentu masalah ini tidak akan muncul ke permukaan. Meski demikian, untuk membuktikan kebenarannya, harus diselidiki lebih lanjut oleh pihak kepolisian jika tidak ingin semakin berkembang opini di masyarakat yang akan semakin menyudutkan pihak kepolisian.
Prosedur penyitaan
Bagaimanakah prosedur yang sebenarnya dalam hal penyitaan dan penyimpanan barang bukti oleh pihak kepolisian? Petunjuk Teknis Administrasi Penyidikan menyebutkan untuk melakukan penyitaan diperlukan surat perintah penyitaan. Barang bukti yang disita, kemudian dibuatkan berita acara penyitaan yang akan dimintakan persetujuan atau penetapan penyitaannya dari pengadilan negeri setempat.
Surat perintah itu selanjutnya dicatat dalam buku register penyitaan oleh petugas khusus (bintara administrasi). Dalam buku register tersebut dicatat pula surat-surat lain yang terkait dengan tindak penyitaan. Misalnya saja, tanda penerimaan barang bukti, surat perintah penyegelan barang bukti, surat penitipan barang bukti, dan surat titip rawat barang bukti.
Artinya, apa pun perlakuan yang dikenakan terhadap barang bukti, dari awal penyitaan hingga kemudian berkas acara pemeriksaan tersangka diajukan ke kejaksaan, ada keterangannya yang merupakan legalitas dari perlakuan tersebut. Tentu saja, dalam berbagai surat keterangan dicantumkan pula identitas barang bukti, seperti jenis, jumlah, sifat, terkait dalam tindak pidana apa, siapa tersangka dan siapa penyidiknya, serta data lain yang menyertai.
Namun, adakalanya data tersebut tidak secara lengkap tercatat dalam buku register karena penyidik yang bersangkutan juga tidak memberikan data tersebut kepada petugas pencatat. Seperti dikatakan Maman (bukan nama sebenarnya), bintara administrasi yang bertugas di salah satu kepolisian resor. "Repotnya kalau penyidik enggak ngasih data lengkap, ya mau enggak mau catatan di buku register banyak yang kosong," ujarnya.
Di mana "celahnya" ?
Jika mencermati berbagai aturan yang tertulis dalam petunjuk teknis (juknis), rasanya cukup menjamin bahwa barang bukti yang ada akan "selamat" nasibnya hingga menuju proses persidangan nanti. Meskipun demikian, sebenarnya ada beberapa "celah" yang merupakan peluang terjadinya penyimpangan yang dapat berakibat pada menguapnya barang bukti, baik dalam hal jumlah, keaslian maupun aspek lainnya. Beberapa celah tersebut antara lain diuraikan berikut ini.
1. Proses penyitaan. Dalam hal penyitaan di mana tersangka tertangkap tangan oleh polisi maupun pada saat proses penggeledahan, barang apa pun yang diduga terkait dengan tindak pidana akan dibawa oleh petugas. Patut diingat bahwa barang sitaan adalah barang yang terkait dengan tindak pidana, baik sebagai hasil maupun sebagai alat untuk melakukan tindak pidana.
Barang milik tersangka yang tidak terkait dengan tindak pidana tidak dapat dijadikan sebagai barang sitaan dan harus segera dikembalikan kepada pemiliknya. Hanya saja, umumnya masyarakat tidak berani menanyakan keberadaan benda-benda miliknya yang ikut raib diambil oknum petugas pada saat penangkapan atau penggeledahan.
Misalnya saja yang menimpa CT alias Kmg alias Rb, tersangka kasus narkotika yang ditangkap di rumahnya, di bilangan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Saat digeledah, seluruh isi rumah berikut kendaraan diangkut petugas tanpa kecuali. Menurut mantan Deputi Operasi Kepolisian Negara RI Koesparmono Irsan, biasanya hal itu dilakukan karena umumnya petugas tidak tahu mana barang yang bisa dijadikan bukti dan mana yang bukan.
Proses tersebut biasanya merupakan celah bagi petugas yang nakal dengan mengambil barang milik tersangka untuk kepentingan pribadi. Seorang perwira menengah (komisaris), misalnya, mengaku sering mendapati anak buahnya memalsukan "sesuatu", yang merupakan barang milik tersangka, saat penggeledahan.
Pada proses inilah "penguapan" sangat mungkin terjadi. Penguapan itu pun bisa disebabkan oleh kekurang-cermatan petugas saat mendata ataupun memang merupakan kecurangan yang disengaja. Biasanya, manipulasi itu dilakukan sebelum data diregister dalam buku register penyitaan.
Misalnya apa yang dialami oleh BY (25). Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta ini menjadi korban penipuan saat membeli mobil yang ternyata merupakan barang curian. Belum seminggu mobilnya dijadikan sitaan petugas, karburator beserta tape dan beberapa elemen mobil lainnya raib. Ketika ditanyakan ke petugas, tak seorang pun yang mau bertanggung jawab.
2. Proses pembungkusan. Barang sitaan memiliki aspek yang berbeda satu sama lain. Barang sitaan yang jumlah dan ukurannya memungkinkan untuk di bungkus membuka peluang untuk dibuka kemasannya-tanpa membuat surat keterangan membuka segel-dengan alasan untuk penyidikan atau penyelidikan. Walaupun kemungkinannya kecil, proses pembungkusan kembali dapat dijadikan celah untuk melakukan penyimpangan tersebut.
3. Proses penyimpanan. Dalam Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara (rubasan). Namun, dalam bab penjelasan disebutkan pula bahwa selama belum ada rubasan di daerah tersebut, benda sitaan dapat disimpan di kantor kepolisian, kejaksaan negeri, atau pengadilan negeri setempat.
Apa yang tercantum di bab penjelasan tentunya merupakan celah tersendiri untuk terjadinya penyimpangan karena tidak ada kewajiban dan keharusan menyimpan barang bukti di tempat yang semestinya.
Seorang perwira menengah di Polda Metro Jaya menceritakan bahwa selama menjadi polisi, ia belum pernah menitipkan barang bukti di rubasan. Paling banter di ruang penyimpanan benda sitaan yang ada di kantor polisi tempatnya bertugas. Itu pun jarang karena lebih sering benda sitaan tersebut disimpan sendiri. Alasannya, untuk memangkas waktu dan birokrasi yang ada.
Solusinya
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan tersebut, antara lain :
1. Dibuat peraturan yang lebih spesifik dan jelas mengenai bagaimana seharusnya perlakukan terhadap barang bukti yang ada. Tidak semua barang bukti dapat disimpan oleh penyidik di ruangan sendiri atau di ruang penyimpanan barang bukti di kantor polisi atau bahkan di rubasan.
2. Begitupun halnya dengan pengemasan atau pembungkusan barang bukti yang besar dan jumlahnya memungkinkan untuk dibungkus. Perlu dibuat tempat atau kemasan khusus untuk menyimpan barang bukti sehingga tidak mudah rusak, baik disengaja maupun tidak, yang dapat membuat barang bukti tersebut mudah dikeluarkan dari tempatnya tanpa disertai keterangan resmi. Misalnya, kotak khusus yang transparan dan sebagainya.
3. Perlu dibangun dan disediakan ruang khusus penyimpanan barang bukti yang memadai, yang memiliki standar tertentu.
F Sidikah R Peneliti pada Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

No comments:

Post a Comment