Saturday, April 15, 2006

Mencegah Konflik dengan Metode "Local Boy for The Local Job"

Kompas, 26 Mei 2003

ADA cerita menarik dari seorang kawan perwira polisi yang berdinas di bagian pendaftaran para calon polisi. Ceritanya, ia menerima pendaftaran dari seorang peserta yang ternyata adalah buronan buruannya sewaktu ia berdinas di daerah lain. Karuan saja si buronan yang ’kabur’ ke daerah baru itu gagal mendaftar jadi calon polisi.
"Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau ia diterima dan lulus tes jadi polisi, apa enggak kacau negara ini," kata teman saya itu lega.
Mendengar hal itu, tampaknya tak seorang pun yang akan keberatan mendengar pernyataannya. Apa jadinya polisi Republik ini jika para gali di suatu daerah kabur ke daerah lain dan dengan persyaratan cukup, malah mendaftar jadi polisi. Bisa-bisa kantor polisi malah jadi sarang penjahat. Itu dulu.
Saat ini Anda tidak perlu cemas. Cerita itu pun cukup jadi pelajaran berharga. Sebaliknya, para gali jangan coba-coba meniru.
Kini Polri tengah menggodok konsep baru perekrutan calon personelnya, yaitu dengan mengembangkan metode Local Boy for The Local Job, mengutamakan putera daerah setempat untuk diterima menjadi calon anggota Polri.
SALAH satu perdebatan menarik dalam rangka pengembangan konsep ini ialah definisi mengenai putra daerah itu sendiri. Berbagai arti dari berbagai latar belakang ilmu memiliki definisi tersendiri mengenai putra daerah. Satu pihak berpendapat, yang dimaksud putra daerah ialah putra asli suatu daerah yang tentunya kental dengan nuansa SARA. Sementara pihak lain berpendapat, siapa pun yang lahir dan besar di suatu daerah merupakan putra daerah setempat.
Berbagai perdebatan itu kemudian memunculkan pernyataan lain yang dibutuhkan Polri bukan sekadar putra daerah. Mengambil istilah sosiolog UI Prof Budhisantoso, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah putra bangsa, yaitu seorang yang memiliki wawasan kebangsaan, terlepas dari unsur SARA yang ada. Tentu hal itu lebih dibutuhkan Polri untuk menangani berbagai konflik intern yang tengah menyentuh rasa kebangsaan kita.
Namun demikian, berbagai konflik intern yang kerap erat kaitannya dengan muatan SARA itu pula yang rupanya menjadi salah satu dasar dikembangkannya metode Local Boy for The Local Job tersebut. Metode itu merupakan pengembangan konsep community policing atau pemolisian berbasis komunitas yang mengedepankan kemitraan antara polisi dan masyarakat.
Itulah sebabnya mengapa putra daerah setempat kini menjadi prioritas Polri untuk memenuhi target pencapaian jumlah 26 ribu polisi tahun ini. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi tidak cukup banyak untuk memenuhi target standar dunia dalam hal rasio jumlah polisi dan masyarakat.
Saat ini, rasio antara jumlah polisi dan masyarakat Indonesia baru sekitar 1 : 1500 orang. Masih jauh dari rasio jumlah polisi di beberapa negara Asia seperti India (1 : 700 orang), Hongkong (1 : 250 orang), dan Jepang (1 : 400 orang).
Terlepas dari berbagai alasan, ada satu hal yang menarik dengan diutamakannya putra daerah sebagai calon anggota Polri, yaitu pemikiran mencegah terjadinya konflik bermuatan SARA.
Ada asumsi, jika polisinya orang daerah setempat maka ia lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Implikasinya, ia akan lebih mudah menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di daerah tersebut karena adanya kedekatan emosional dengan masyarakat sekitar.
Pertanyaannya, apakah benar demikian? Bagaimana jika si polisi terjebak dengan ikatan primordialnya? Berbagai pertanyaan yang meragukan kebenaran asumsi tersebut pun bermunculan.
Kekhawatiran akan munculnya keberpihakan polisi terhadap pihak tertentu dalam penanganan konflik karena adanya kedekatan emosional, menjadi hal yang perlu dipikirkan pimpinan Polri.
Pasalnya, masyarakat kita kental dengan ikatan emosional dalam berbagai hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap upaya penegakan hukum. Banyak kasus yang mengendap karena adanya intervensi dari oknum pejabat hanya karena yang bermasalah adalah adik, saudara, tetangga, keponakan, atau teman sekolah. Kalau itu terjadi, bisa-bisa akibat yang ditimbulkan malah sebaliknya.
Apalagi konsep Local Boy for The Local Job itu kemudian diimplikasikan dengan menempatkan seorang polisi untuk berdinas di wilayah yang merupakan tempat tinggalnya semula. Apakah polisi terutama yang remaja dan baru berdinas satu dua tahun benar-benar mampu menangani konflik yang melibatkan orang-orang yang justru sudah lama dikenal olehnya dengan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi ia bertindak?
Untuk itu perlu ada pertimbangan dalam beberapa hal yang terkait dengan konsep Local Boy for The Local Job. Pertama, wilayah penempatan dan lamanya bertugas. Apakah rotasi tugas untuk menambah pengalaman di lapangan hanya terbatas pada daerah tertentu atau memungkinkan pindah ke lain daerah.
Kedua, fungsi penugasan, apakah konsep tersebut akan berlaku di seluruh fungsi dan satuan seperti reserse, intel, lalu lintas, dan sebagainya, karena masing-masing fungsi berbeda keperluannya dalam hal pemenuhan tugas.
Ketiga, apakah konsep tersebut berlaku untuk semua tingkatan tamtama, bintara, dan perwira atau ada kebijakan lain. Masing-masing tingkatan tersebut tentu berbeda pula dalam hal peran dan fungsinya bagi pemenuhan tugas-tugas kepolisian.
Untuk menjawab berbagai masalah diatas, salah satu solusinya adalah dengan membuat sistem atau standard operational procedure (SOP) yang jelas bagi para petugas polisi di lapangan. SOP yang merupakan cara bertindak di lapangan itu bukan sekadar juklak atau juknis.
Pilihan pemikiran lain, membuat semacam komisi pengawas kepolisian yang banyak terdapat di berbagai negara untuk mengawasi kepolisiannya, terutama penyelesaian dan penegakan hukum.
Rasanya berbagai alternatif solusi tersebut perlu dipertimbangkan, terutama dalam menyusun program yang mengedepankan kemitraan polisi dan masyarakat. Ini membutuhkan pemikiran untuk mempertimbangkan berbagai efek positif dan negatifnya. Segala hal yang positif didahulukan. Sebaliknya, untuk dampak negatif segera diambil langkah antisipasinya.
Terutama didasarkan pada perbedaan karakteristik masyarakat antarnegara, maka konsep pemolisian boleh saja mengadopsi konsep pemolisian negara lain namun realisasinya belum tentu sama. Sebab jika tidak, konsep community policing dengan Local Boy for The Localnya Job-nya yang sangat ideal itu, hanya akan berfungsi mencegah penjahat masuk polisi seperti kasus di atas.
F Sidikah R Mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia
Search :
















No comments:

Post a Comment