Saturday, April 15, 2006

Tahun 2005, Calon Bintara Polri Minimal D1 Studi Kepolisian

Kompas, 14 Januari 2004
SEBUAH proposal menarik tiba di meja saya. Judulnya, "Proyek Perintisan Penyelenggaraan Pendidikan Diploma-1 Studi Kepolisian Pada Perguruan Tinggi Umum". Isinya, tentu saja, segala latar belakang dan klausul untuk membuka program studi kepolisian setingkat D1 di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh provinsi di Indonesia.
Yang menarik dari proposal itu adalah adanya usulan agar program tersebut menjadi syarat untuk para lulusan SMU yang ingin masuk atau menjadi polisi lewat jalur bintara. Dengan kata lain, andai kata proposal itu segera disetujui pelaksanaannya, maka sesuai dengan jadwal yang tertera, program tersebut akan berjalan pada pertengahan tahun 2004.
Artinya, mulai tahun 2005, setiap lulusan SMU yang ingin mendaftar menjadi calon bintara Polri harus melewati pendidikan D1 Studi Kepolisian terlebih dahulu.
Kabarnya, saat ini proyek yang membutuhkan dana persiapan Rp 6,2 miliar itu sudah mencapai tahap sosialisasi kepada Departemen Pendidikan Nasional maupun perguruan tinggi negeri dan swasta (PTN/PTS) yang ada sebagai pihak yang akan menyelenggarakan program tersebut.
Menurut Inspektur Jenderal Farouk Muhammad, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan juga sebagai kepala proyek, program tersebut merupakan program pada tahap awal. Ke depan, rencananya, dari perguruan tinggi yang ada akan diseleksi kembali mana yang akan dipilih untuk membuka program D3 dan Strata 1 Studi Kepolisian.
SEJAUH ini banyak pihak yang sepakat dan optimistis bahwa membuka program studi kepolisian menjadi bidang studi tersendiri akan banyak peminatnya. Pasalnya, selama ini setiap pembukaan pendaftaran calon bintara Polri, jumlah total pendaftar di seluruh Indonesia mencapai sekitar 150.000 orang. Dari jumlah itu, hanya 25.000 orang yang akan dipilih. Artinya, jumlah itu merupakan angka yang sudah pasti "harus" diserap lebih dahulu oleh perguruan tinggi.
Memang, saat ini Polri tengah berupaya menambah jumlah anggotanya secara besar-besaran. Targetnya adalah untuk memenuhi rasio ideal antara jumlah anggota Polri dan masyarakat. Saat ini, secara kuantitas, rasio kekuatan Polri dan masyarakat baru sekitar 1 : 900, sedangkan di beberapa negara, perbandingan jumlah polisi dan masyarakat sudah mencapai 1 : 500. Adapun kriteria PBB, perbandingan jumlah polisi dan masyarakat yang ideal adalah 1 : 350 orang.
Untuk itu, mulai tahun 2003 hingga setidaknya hingga tahun 2007, Polri berencana menambah sekitar 26.000 orang per tahun, di mana 25.000 orang adalah bintara dan sisanya adalah perwira. Dengan demikian, pada tahun 2007 diharapkan rasio antara jumlah anggota Polri dan masyarakat sudah mencapai angka sekitar 1 : 500 orang.
Khusus tingkat bintara, mencapai jumlah 25.000 orang per tahun tidak mudah. Terutama jika mengingat keterbatasan kapasitas dan fasilitas pendidikan yang ada di Sekolah Polisi Negara (SPN). Saat ini tercatat, Polri hanya memiliki 24 SPN di seluruh Indonesia dan 1 Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan).
Untuk mengantisipasi minimnya jumlah SPN dengan besarnya pemenuhan kebutuhan calon bintara Polri, saat ini dilakukan pengurangan waktu pendidikan yang semula delapan bulan menjadi lima bulan dengan masa magang lima bulan dan pembulatan satu bulan (5 + 5 + 1). Bayangkan saja, bagaimana jadinya kualitas bintara polisi kita dengan lama pendidikan hanya lima bulan langsung diberikan kewenangan kepolisian yang besar?
ADA berbagai konsekuensi yang akan muncul jika syarat minimal D1 Studi Kepolisian untuk menjadi calon bintara Polri terealisasi. Pertama, pada batasan usia. Saat ini, rata-rata usia bintara Polri setelah lulus pendidikan adalah 18-19 tahun. Dengan adanya penambahan satu tahun pada program D1, paling tidak, usia lulusan bintara Polri menjadi 20 tahun.
Jika kemudian ada peninjauan kembali pada masa magang yang idealnya adalah sekitar satu tahun sebagaimana juga disebutkan dalam proposal, maka rata-rata lulusan bintara Polri yang sudah "jadi" adalah 21 tahun.
Di satu sisi, pada usia tersebut dapat dikatakan ideal untuk diberikan kewenangan penegakan hukum, memegang senjata, maupun kewenangan kepolisian lainnya. Namun, di lain sisi, tentunya usia tersebut sudah terlalu "tua" bagi para polisi yang akan memulai kariernya pada penugasan yang berbasis gerakan pasukan atau keterampilan fisik, misalnya pasukan Brimob.
Dengan demikian, rasanya perlu dipertimbangkan untuk tetap menerima lulusan SMU (tanpa berpretensi pada adanya "diskriminasi" kualitas) yang khusus diarahkan pada perekrutan untuk bidang penugasan tertentu.
Kedua, pada segi biaya. Besarnya biaya yang dikeluarkan Polri untuk mendidik calon bintaranya dapat lebih diefektifkan. Pertimbangannya, lulusan D1 Studi Kepolisian dianggap sudah memiliki pengetahuan dasar tentang kepolisian.
Ide dari beberapa pihak untuk mengurangi masa pendidikan dengan alasan dapat mengurangi anggaran hingga sekitar 20 persen rasanya bukanlah ide yang bijaksana. Lebih baik jika dana dan waktu yang semula dialokasikan untuk jam pelajaran dalam bidang pengetahuan dasar tentang kepolisian dialihkan untuk menambah jam pelajaran yang berupa teknis kepolisian.
Memang, lulusan D1 Studi Kepolisian tidak dijamin akan diterima sebagai anggota Polri. Mereka tetap harus mengikuti serangkaian tes yang ada. Namun, usulan tersebut dibantah oleh Farouk selaku kepala proyek sebagai usulan yang akan memberatkan masyarakat.
Menurut dia, banyak orang desa yang rela menjual sawah untuk menyuap oknum polisi agar anaknya bisa diterima. Daripada buat suap, lebih baik dananya dialihkan untuk biaya pendidikan. Untuk itu rencananya akan coba menjalin kerja sama dengan instansi lain yang membutuhkan lulusan dengan latar belakang ilmu kepolisian bagi mereka yang tidak lulus pada saat mengikuti tes masuk polisi.
SECARA garis besar perlu diakui bahwa usulan tersebut adalah sebuah usulan yang menarik, terutama di tengah pergulatan mengenai posisi ilmu kepolisian itu sendiri. Pasalnya, saat ini masih ada silang pendapat, apakah ilmu kepolisian merupakan ilmu yang dapat dipelajari oleh setiap orang atau khusus hanya untuk polisi.
Bahkan tidak hanya itu. Penentuan apakah ilmu kepolisian merupakan multidisiplin ilmu atau interdisiplin ilmu juga masih terjadi tarik-menarik pendapat. Bagi yang lebih ekstrem lagi menentang, ilmu kepolisian dikatakan sama dengan ilmu jadi-jadian alias bikin-bikinan dengan alasan bahwa di berbagai negara yang sudah banyak mencetak pakar dalam bidang kepolisian, tidak secara spesifik menyebut istilah ilmu kepolisian (police science atau police studies?).
Berbagai sebab itulah yang antara lain menjadi alasan mengapa para perwira polisi lulusan PTIK yang bergelar sarjana ilmu kepolisian kemudian menjadi "anak tiri", yang dengan berat hati, gelar maupun ilmunya itu tidak diakui, hilang lenyap dan otomatis terhapus ketika mereka berhadapan dengan "dunia luar". Padahal, di Indonesia saat ini tercatat sudah ada tiga PTN yang membuka program ilmu kepolisian.
Tak ayal, memperdebatkan posisi ilmu kepolisian akan menjadi sama ribet dan ributnya dengan ketika sekolah intelijen dibuka untuk umum, di mana lulusannya akan bergelar S1 dan S2 dalam bidang ilmu intelijen.
Adrianus Meliala, kriminolog yang mengkhususkan diri pada bidang kepolisian untuk meraih gelar PhD di Queensland University, Australia, menyebutkan bahwa ilmu kepolisian, sama halnya dengan ilmu intelijen, adalah ilmu yang bisa dipelajari oleh setiap orang. Menurut dia, ilmu kepolisian, sebagaimana ilmu intelijen, bukan monopoli bagi mereka yang berkarier sebagai polisi atau intelijen semata.
Bahkan dengan dipelajarinya ilmu kepolisian untuk umum sebenarnya dapat mendukung arah terwujudnya polisi sipil karena ilmu kepolisian bukan lagi "milik" mereka yang berprofesi sebagai polisi. Dan, tidak setiap orang yang mempelajari ilmu kepolisian harus menjadi polisi.
Artinya, semangat untuk mewujudkan polisi sipil akan terasa menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat, bukan tanggung jawab polisi semata.
F Sidikah R Alumnus Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

No comments:

Post a Comment