Saturday, April 15, 2006

Bentrokan Pendukung Ba’asyir vs Polisi; Perilaku Kolektif Massa dan Frustrasi Polisi

Sinar Harapan, 31 Oktober 2002

Oleh F. Sidikah R
Nama Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kini menjadi fenomena tersendiri. Terutama sejak ia disebut-sebut sebagai otak pengeboman beberapa tempat yang terjadi tiga tahun belakangan ini, termasuk dikatakannya sebagai otak pengeboman Sari Club (SC) di Bali 12 Oktober lalu. Tak ayal, cap teroris pun kini dialamatkan padanya. Apalagi sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Jamaah Islamiah (JI) sebagai organisasi teroris internasional, dimana Ba’asyir juga disebut-sebut tergabung di dalamnya. Tentu saja, terlepas dari benar atau tidaknya berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada pemimpin pesantren itu, harus dibuktikan lebih dulu di pengadilan nanti. Namun demikian, ada satu hal yang dapat ditarik kesimpulan, mengapa polisi bertindak keras saat menangkap ustadz yang saat itu sedang terbaring sakit di tempat tidur. Bisa dikatakan, secara tidak disadari berbagai labelling yang dialamatkan pada Ba’asyir, membuat polisi seakan menjadi geregetan dan akhirnya ”frustrasi”.Geregetan karena penasaran dan frustrasi karena adanya berbagai tekanan. Salah satunya tentu adanya berbagai tuntutan yang mendesak agar Polri cepat dapat mengungkap kasus tragedi Bali yang menewaskan ratusan orang tersebut. Berbagai tuntutan itu merupakan faktor penekan yang menurut Carter (1985) menjadi pemicu timbulnya kekerasan atau brutalitas polisi dengan menggunakan kekuatannya secara berlebihan. Dalam hal ini, kemudian termanifestasi dalam tindakan keras saat menjemput Abu Bakar Ba’asyir yang berakibat bentrokan antarpendukung Ba’asyir dengan aparat keamanan. Hasilnya, beberapa korban luka-luka dari kedua belah pihak ditambah rusaknya fasililitas umum yang ada, yaitu rumah sakit, tempat Ba’asyir dirawat. Hal itu menimbul penilaian tersendiri dari kalangan masyarakat awam, apakah untuk membawa seseorang yang sudah tua dan sakit itu, perlu tindakan yang demikian kasar?” Secara awam pula kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan kekerasan dalam peristiwa penangkapan Ba’asyir tersebut adalah berlebihan. Berlebihan, karena seharusnya penangkapan Ba’asyir bisa berjalan secara damai tanpa kekerasan. Apalagi kejadian itu berlangsung di rumah sakit, tempat dimana pada saat perang pun merupakan wilayah yang perlu dilindungi. Wajar saja jika kemudian tim pembela Ba’asyir mempraperadilkan Polri. Perilaku Kolektif Di sisi lain, bentrokan yang terjadi antara aparat keamanan dengan pendukung Abu Bakar Ba’asyir saat penangkapan berlangsung, dapat juga dikatakan sebagai wujud dari adanya perilaku kolektif (collective behaviour) dari massa pendukung. Perilaku kolektif biasanya dipicu oleh suatu rangsangan yang sama, baik orang, benda atau ide. Dalam hal ini, Ba’asyir telah dijadikan simbol perjuangan oleh kalangan tertentu.Inilah yang dilupakan oleh aparat keamanan, bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan Ba’asyir seorang. Melainkan Ba’asyir menjadi identik dengan perjuangan suatu kelompok. Sehingga wajar saja jika kemudian timbul bentrokan antara aparat keamanan dengan massa pendukung yang memiliki tujuan dan kepentingan berbeda.Pihak Polri sendiri lewat Kadiv Humasnya, Brigjen Pol Basyir A. Barmawi mengatakan, bahwa penangkapan Ba’asyir sudah mengikuti prosedur tetap yang telah ditentukan. Hanya saja, ada oknum yang kemudian mengerahkan massa untuk menghalangi penangkapan Ba’asyir oleh aparat keamanan. Memang, secara teori, menurut Smelser (1968), salah satu faktor terbentuknya perilaku kolektif adalah karena adanya mobilisasi massa, alias diciptakan. Namun dalam kasus ini, kita tidak bisa melepaskan diri dari telah terbentuknya lebih dulu suatu kepercayaan umum (growth and spread of a generalized belief) yang juga menjadi faktor lain dari timbulnya perilaku kolektif, yaitu dimana kemudian Ba’asyir menjadi simbol perjuangan. Apalagi sebelumnya ia memang seorang pemimpin di pesantrennya (Majelis Mujahidin Indonesia).Terbentuknya atau terciptanya simbol yang dapat menjadi faktor timbulnya perilaku kolektif yang ada kalanya terwujud dalam bentuk kekerasan bukan kali ini saja terjadi. Sebut saja, berbagai kerusuhan yang ada, juga berawal dari munculnya perilaku kolektif yang berkembang menjadi kekerasan. Perilaku yang timbul karena adanya generalized belief dari kelompok tertentu yang menyebar dan meluas itu diyakini sebagai suatu kebenaran oleh kelompok massa tersebut. Sehingga, menjadi sama saja ketika polisi bertindak represif karena fakta yang timbul kemudian adalah terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertentangan tersebut. Dalam hal ini tentunya aparat keamanan dan pendukung Ba’asyir.Antisipasi dan Tindakan PolisiDi tengah merebaknya berbagai isu yang melibatkan massa akhir-akhir ini, tentunya hal tersebut menjadi salah satu fenomena yang mulai menggejala saat ini. Tentunya dengan demikian, Polri sebagai aparat keamanan penegak hukum seharusnya mulai menemukan pola tersendiri dan menerapkan resep yang berbeda dalam hal penegakan hukum di tengah situasi demikian. Bukan malah sebaliknya, justru aparat keamanan yang ikut berbuat anarkis. Tugas Polri adalah menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban serta melindungi dan mengayomi masyarakat. Ketiga tugas tersebut bukan merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Artinya, atas nama penegakan hukum bukan berarti tugas melindungi dan mengayomi masyarakat menjadi terabaikan.Dalam kasus tersebut, bisa dikatakan, ”kesalahan” polisi bukan terletak pada hendak diperiksanya Abu Bakar Ba’asyir, melainkan pada cara dan proses penangkapannya. Belum lagi hal tersebut terjadi di rumah sakit yang menjadi rusak akibat terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan massa pendukung. Apalagi kasus yang menimpa Ba’asyir bukan kasus yang berdiri sendiri. Artinya, apa yang dituduhkan kepadanya merupakan kasus yang terkait dengan kepentingan dunia internasional, yaitu munculnya gerakan melawan terorisme. Namun demikian, hendaknya Polri tidak terjebak pada situasi tersebut sehingga berdampak pada diambilnya tindakan yang justru malah memojokkan Polri. Tugas pokok Polri sebagai penegak hukum adalah hal utama yang tidak bisa ditawar lagi. Namun demikian, jika Polri tidak mulai mempersiapkan diri, jangan heran jika ke depan semakin banyak kasus yang mempraperadilkan Polri dengan alasan kesalahan prosedur, khususnya dalam hal penangkapan tersangka. Padahal, dengan banyaknya praperadilan justru menandakan semakin tidak dipercayainya upaya penegakan hukum oleh Polri. Tentu saja, hal itu merupakan preseden buruk bagi institusi yang hendak menjadikan dirinya mandiri dan independen.Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia. .



Copyright © Sinar Harapan 2002

No comments:

Post a Comment